“… we can rent a cottage
In the Isle of Wight if it's not to, dear
We shall scrimp and save …”
In the Isle of Wight if it's not to, dear
We shall scrimp and save …”
Di sela lagu Ebiet. G. Ade yang berkumandang mendayu-dayu namun lantang, terjadi transaksi jual-beli rumah yang sungguh ajaib dalam angkot Cicaheum-Ledeng. Begini. Seorang ibu duduk di bangku depan. Mengobrol seadanya dengan pak supir. Hingga sampai pada pembicaraan ini:
“… rumahnya ternyata mau disewakan juga dia, Ibu. Dua kamar. Masuk pula motor,” kata Pak Supir.
“Harganya berapa?”
“Kan dia minta 6,5. Kita tawar lagi nanti. A, nanti kalau jadi kasih saya 1 juta, ya. Bagus kok rumahnya. Cocoklah itu untuk dua orang.”
“Insya Allah, kalau kitanya juga sreg …”
Lalu mereka bertukar nomor ponsel. Saya yang duduk persis di belakang mereka melongok takjub. Ketika bangun pagi itu, mereka pasti belum saling mengenal. Menjelang siang, mereka dipertemukan oleh takdir. Tiba-tiba saja mereka saling percaya dan melakukan transaksi yang tidak main-main.
“Nanti kita berhenti, Bu. Ada supir yang bawa angkot saya, saya antar ibu lihat rumahnya,” kata Pak Supir setelah menelpon seseorang. Si Ibu dan pemudi tampak setuju-setuju saja. Saya semakin takjub. Dalam hati saya bertanya sendiri, “Buset, dah, ibu-ibu sama mbak-mbak ini nggak serem apa, ya?”
Tapi supir ini sepertinya memang lelaki yang tak punya maksud buruk dan apa adanya. Setelah bertransaksi, dengan “bocor” ia bercerita tentang kehidupan keluarga, masa muda, istri, dan … apa saja yang mungkin tergelincir dari lidahnya.
“A, kalau saya ini, Bu, bukan orang sini sebenarnya. Dari Sumatera Utara. Orang Batak.”
“Keliatan, kok,” sahut Si Ibu datar.
“Marga saya Gultom. Dulu saya di Jakarta waktu pacaran. Tapi karena istri saya kerja di sini, saya pindah juga. Udaranya jiga (seperti, bahasa Sunda-red) di kampung saya. Jadi ya sudah, di sinilah,” papar Pak Supir.
Karena tujuan saya tak jauh lagi, demi Salamatahari, saya memberanikan diri bertanya, “Pak, boleh… boleh motret Bapak dari spion, nggak?”
“Silakan, silakan,” sahut Pak Supir tanpa banyak bertanya dan menaruh curiga.
Saya kembali takjub. Semudah itu? Wow … lalu saya pun memotretnya.
Hmmm … jangan-jangan sebetulnya Pak Supirlah yang seharusnya mewaspadai calon client-nya ini? Entahlah … saya enggan ber-su’udzon.
Ebiet. G. Ade masih melolong berulang-ulang ketika saya turun di daerah Cisangkuy. Pak Supir, Si Ibu, dan pemudi yang tak terlalu banyak bicara masih meneruskan perjalanannya, entah sampai ke mana.
Di ujung transaksi, kata-kata apa yang akan terlontar?
Give me your answer*?
Fill in a form* ?
Mine forever more *?
Sampai hari ini, saya tak pernah tahu akhir cerita yang sesungguhnya …
Sundea
*diambil dari lirik When I’m 64 The Beatles
Komentar
Halo posting oppeletten, selamat hari Senin ... =D