Ada cuplikan lagu Michael Franks, In the Yellow House, yang mengingatkan Sundea kepada salah satu teman terbaiknya, Markus Benyamin Diredja : “painter, brother, friend, at least ‘til the inking…”.
Pria tinggi-besar yang lahir di awal Mei 1980 ini adalah seorang dosen Seni Rupa, ilustrator, dan komikus. Jatuh cinta pada tanggung jawab inking, baik secara harfiah maupun metaforik. Sambil menunggu istri Markus, Eka, yang sedang bekerja, Dea menanggap Markus untuk mengobrol seputar inking dan outline.
Baiklah, Kus. Karena Salamatahari minggu ini temanya “Outline”, menurut lo, outline itu apa?
Menurut gua … outline itu garis luar. Outline itu sesuatu yang penting. Gua selalu bilang sama mahasiswa gua kalau bikin outline, tuh, seperti mengukir. Outline bisa tebel, bisa tipis. Prinsipnya ngasih kejelasan bentuk, aja. Bahkan waktu gambar kita masih item-putih, kualitas gambar terepresentasikan dari outline-nya. Tapi itu pewahyuan gua, ya, tiap orang kan beda-beda. Ada juga yang outline-nya berantakan, tapi gambarnya bagus. Atau sebaliknya, outline-nya rapi, tapi gambarnya kaku. Seni kan luas banget. Lagi pula seni bisa diliat dari sense-nya, bisa juga dari tekniknya. Tetep yang paling baik yang seimbang. Dan gua yakin tiap orang pasti lagi nyari titik semibangnya sendiri-sendiri, secuek apapun mereka.
Ok. Di luar gambar-menggambar, outline itu apa menurut lo?
Batesan. People need boundaries. Tanpa batesan, kebebasan itu malah jadi chaos. Orang yang nggak punya batesan justru jadi nggak punya achievement untuk menginspirasi orang. Ujung-ujungnya, ultimate di freedom itu butuh batesan.
Terus, apa batesan lo sendiri?
Ya … kalo gua pribadi, sih … Tuhan.
Kresek, dong?
Hahahaha … itu kan elo. Batesan yang ke dua adalah hati nurani. Soalnya kadang kalau kita cuma mikir ke arah Tuhan, kita malah jadi jahat. Hati ngingetin gua kalo gua masih manusia dan orang di sekitar gua juga masih manusia. Nggak mungkin gua ngarepin ada kesempurnaan Tuhan di dunia ini.
Hmmm … bener juga, ya. Nah, sekarang soal inking. Inking itu sama, nggak, sama bikin outline?
Beririsan. Banyak orang yang outline-nya pakai pinsil. Inking itu untuk mempertegas lagi.
Apa yang istimewa dari inking?
Secara konsep, inking itu permanen. Kalaupun mau dihapus, harus pakai cat atau tip-ex. Tapi udah gitu tekstur kertasnya ga akan sama lagi.
Kalau digital?
Kalau digital, sih, nggak ngaruh. Tapi buat gua, yang namanya “inking” berarti manual. Nah. Justru di dunia manual inilah gua belajar banyak.
Wow. Seru kayaknya. Belajar apa aja?
Gua seneng memberikan bentuk tegas pada orang, makanya gua jadi dosen. Kalau yang gua inking gambar orang lain, gua jadi belajar untuk liat karakter dan cara gambar orang. Tiap nge-inking, gua nggak pengen karakter mereka ilang. Gua cuma pengen negesin bentuknya mereka meskipun cara gambar gua beda sama cara gambar mereka. Gua seneng pas orang-orang ngeliat gambarnya dan bilang, “Wah ternyata kalo di-inking gambar gua jadi gini, ya …”. Di inking gua juga belajar ngambil keputusan. Gimana juga, meskipun nggak dengan maksain cara gua, keputusan tegas emang harus diambil.
Jadi filosofis, nih. Ngomong-ngomong, lo pernah salah inking, nggak, Kus?
Pernah. Tapi setelah bikin keputusan salah, kita harus deal with it atau ngebentuk yang salah itu jadi sesuatu yang lain. Nggak bisa ditiadakan.
Gimana rasanya salah inking?
Tegang-tegang menyenangkan karena gua jadi musti super kreatif. Kalau itu di gambar orang lain, biasanya kesalahannya misalnya garisnya ketebelan. Tapi kalo gua bikinnya rapi, orang nggak notice, kok.
Hyaaa … tapi sekarang kan gua jadi notice dan tau. Btw, gimana dengan profesi inker?
Di luar negeri ada. Tapi di Indonesia suka dianggap nggak bermanfaat. Padahal kalo ada yang mau nyari inker, gua mau, lho. Gua suka banget inking. I love inking!
Semoga ada pembaca Salamatahari yang cari inker, deh, Kus … hehehe … terakhir, nih Kalau hubungannya sama idup, lo lagi inking apa di idup lo?
Yang berasa banget … mungkin gua lagi ink family. Gua kan baru married sama Eka. Terus yang berasa lagi, gua lagi ink generasi di bawah gua dengan jadi dosen. Dan gua juga mau nge-ink perkomikan Indonesia.
Asoy! Semoga sukses, Pak Dosen … Dosen Really Matter … hehehe …
Bagian kecil lain dari lagu In the Yellow House terngiang di telinga Dea, “You always help me when you could, you did your best, at least you’ve tried …”.
Selama berteman dengan Markus enam tahun terakhir, ada cukup banyak garis tegas yang ditorehkan Markus pada Dea. Melalui Markus, Dea banyak belajar mengenali bentuk dan merapikan garis serabutan yang seringkali Dea tarik secara intuitf.
Semoga melalui posting ini, Dea dapat ganti menorehkan garis tegas pada Markus: Percaya, deh, Kus, latihan setiap hari membuat kamu bisa meng-ink apa saja, termasuk keluarga, generasi di bawahmu, dan dunia perkomikan Indonesia ;)
Sundea
Kunjungi Markus di: http://peaceguy.deviantart.com/
Komentar
Thank you, ya.
Hidup !