-Jakarta, Jumat 14 Mei 2010-
“Pak, ada apaan, sih, nih, kok macet amat ?”
“Banjir di mana-mana, Mbak …”
Saya menarik nafas. Hari itu hujan memang sempat turun luar biasa lebat. Meski sudah berhenti, jasadnya yang menggenang di sana dan sini masih membuat rusuh lalu lintas. Saya yang merasa bosan, berguling-guling sendiri di bangku belakang taksi. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memotret jasad-jasad hujan lain yang gugur di jendela taksi.
“Pak, liat, deh, ada ujan-ujan yang udah mati,” saya menunjukkan foto-foto saya pada Pak Supir taksi. “Oh, ya, ya …,” Pak Supir tampak agak malas menanggapi. “Ngomong-ngomong ini masih belum maju-maju juga, ya ? Kita udah lebih dari setengah jam di sini, lho,” kata saya sambil clingak-clinguk memperhatikan sekitar. “Ya … banjir,” sahut Pak Supir lagi. “Tapi, Pak … argonya jalan terus. Nanti kalo saya nggak bisa bayar gimana ?” tanya saya sambil memotret argo yang tampak warna-warni memesona di tengah gelap langit yang menembus masuk ke taksi. “Kalau mau jalan juga bisa, Ambassador udah dekat, kok,” jawab Pak Supir, tampak agak kesal, “Tapi hati-hati, jangan jalan di tempat gelap. Namanya juga Jakarta. Banyak yang suka punya niat nggak bener, barang-barang berharganya dijaga aja,” pesan Pak Supir. Takut tak bisa membayar taksi, saya segera mengiyakan, “Saya turun di sini aja, Pak. Saya nggak akan jalan di pinggir-pinggir yang gelap itu, kok, saya bakal jalan di tengah-tengah jalan … hehehe … makasih, ya, Pak,” kata saya seraya membayar taksi. “Hati-hati,” pesan Pak Supir. Ia yang awalnya terlihat jengkel jadi sedikit khawatir. Saya menanggapinya dengan seringai.
Saya melompat-lompat di tengah jalan. Melintasi mobil-mobil yang nyaris tak bergerak dan jasad hujan yang masih menitik dan menggenang. Arwahnya mewujud wangi tanah dan batu yang menggeser bau sampah dan polusi. Jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, jasad-jasad ini membawa jasa-jasa.
Eh, tunggu dulu. Hari itu 14 Mei. Dua belas tahun setelah kerusuhan besar 1998 menghajar Jakarta. Dua belas tahun lalu jasad-jasad bergelimpangan, namun dari sudut pandang berbeda membawa jasa-jasa yang mendewasakan bangsa. Saya hampir lupa, tapi hujan tidak. Mereka merayakannya dengan nyawa mereka sendiri. Saya menarik nafas. Kali itu bukan karena argo taksi atau kemacetan yang masih konsisten tak bergerak.
Mall Ambassador tak terlalu jauh lagi dari tempat saya berdiri. Sayup terdengar suara petugas parkirnya berseru pada mobil-mobil yang hendak bergulir meninggalkan mall, “Satu jalur saja, satu jalur saja !”
Sundea
Komentar
Nia
mynameisnia.com