-Kota, Selasa, 20 April 2010-
Di sepanjang Jalan Lapangan Stasiun, Kota, perempuan-perempuan tangguh berdiri menenteng bergepok-gepok uang. Kepada mereka orang-orang menukar uang. “Misalnya orang tukar satu juta sama kami, ongkosnya lima puluh ribu, seratus ribulah, yang penting sama-sama mau,” ujar Ibu Neti Gultom, salah satu perempuan tangguh yang telah sepuluh tahun mereceh.
Semua pereceh yang hari itu saya temui berasal dari Sumatera Utara. “Sebab kami dari Sumatera Utara berani,” kata Ibu Regina Sitanggang berapi-api. Dalam profesi ngereceh memang mengintai banyak resiko. “Bagaimana kalau kami dirampok ? Bagaimana kalau kami dapat uang palsu ? Bagaimana kalau kami dihipnotis ? Tapi kami tidak takut. Kami serahkan saja semuanya kepada Tuhan,” sambung Ibu Regina.
Terus bergerak membuat perempuan-perempuan tangguh ini tak pernah membusuk dalam perasaan tak berguna. “Kami hanya cari kesibukan, jangan kau kira tewas Bapak-bapak kami,” lagi-lagi Bu Regina mencetuskan istilah ekstrim. Para suami bekerja di tempat lain ; mulai dari kuli pelabuhan hingga pegawai negeri. Anak-anak mereka pun berkuliah di berbagai tempat. “Dia ini anaknya cumlaude di Hukum Gajah Mada,”kata Ibu Yuli Nainggolan sambil melirik Ibu Regina. Kali itu Bu Regina jadi tersipu.
Masih ingat uang sepuluh ribu rupiah seri lama bergambar Kartini ? Adakalanya ia dipecah menjadi dua Teuku Umar bernilai lima ribu rupiah ketika dibutuhkan …
Sundea
Komentar