-Braga, Minggu 23 April 2010-
Hari Buku Sedunia : “Doeloe Kami Pernah Ada”
Braga mendadak berraga. Bangunan-bangunan bersejarah yang bisu seperti berseru kembali, “Doeloe kami pernah ada !” Teman-teman yang ingin mengenal bangunan klasik di seputar Braga berjalan-jalan ; meniup pagi, menghisap sejarah.
“Doeloe Kami Pernah Ada” adalah salah satu acara yang terrangkum dalam peringatan “Hari Buku Sedunia dan Spirit Bandung 55”. Dipandu teman-teman dari Komunitas Aleut dan diiringi Errithethird (ilustrator Salamatahari #2), Deugalih (pencipta soundtrack Salamatahari), Theoresia Rumthe (endorser Salamatahari), dan Sundea (penulis Salamatahari), toko-toko buku tua di sekitar Braga diberi suara untuk menceritakan sejarahnya.
Kami pun sempat mengunjungi Hotel Royal Palace yang dulunya merupakan toko buku sekaligus penerbit pertama pribumi ; Prawirawinata. “Pemiliknya namanya Raden Prawira Winata. Orangnya narsis,” kata Indra sambil menunjukkan halaman belakang salah satu buku terbitannya. Ternyata, Teman-teman, setiap buku yang diterbitkan Prawirawinata menampilkan foto dirinya sendiri; cukup besar, lho. Jrengjenggg …
Pada akhirnya toko buku tersebut dijual karena merugi. Pada zaman itu, tidak mudah bertahan dengan mencetak buku-buku pribumi, terutama buku-buku Sunda. Penerbitan idealis tersebut pun menjelma menjadi hotel milik seorang Belanda bernama Van Rijn.
Di tengah acara jalan-jalan yang seru itu, pos kereta api menyerukan peringatan. Sambil menutup palang, ia seakan berkata, “Ada yang mau lewat tanpa berhenti, tahan dulu langkahmu …” dan … JEJESSJEJESJEJES ….
Kereta Api Parahyangan melintas menggilas rel; berlari membawa luka karena merugi.
Hari itu ia tidak berhenti. Namun seminggu kemudian roh mereka berseru, “Doeloe kami pernah ada !”
Sundea
Komentar