Pada suatu hari, Dea yang baru pulang dari Jakarta bertandang ke Reading Lights. Kepada teman-teman, Dea bercerita tentang hal-hal kecil seru yang memercik di tengah hiruk pikuk Jakarta.
Amahl S. Azhwar alias Mahel yang bekerja di Jakarta terkesiap; menyadari pesona yang sesungguhnya bertaburan di Ibukota. Kearifan menyusup di tengah sore yang rencananya akan lucu-lucu itu.
Dea : Setelah kita ngobrol-ngobrol tadi, sekarang apa pendapat lu tentang Jakarta ?
Mahel : Gua harus membersihkan kaca jendela mobil gua.
Dea : Hmmm. Caranya ?
Mahel : Mungkin dengan cara jadi diri sendiri. Mungkin nggak harus mengubah diri, but be a better self. Gua justru bisa memastikan kacanya bersih dengan sering-sering keluar tapi selalu inget kalo Bandung is my hometown.
Dea : Inget Bandung is your hometown pengaruhnya apa, Hel ?
Mahel : Selalu mengingatkan bahwa gua punya comfort zone. Gua ga di Jakarta selama-lamanya dan selalu bisa pulang. Gua ngerasa idup di Bandung lebih simple, lebih banyak space untuk diri sendiri. Kalo di Jakarta orang-orang hidup di jalan.
Dea : Artinya lo musti nemuin rumah di jalan, tu, Hel …
Mahel : Mungkin kalo gua keterima di Media Indonesia gue akan nyewa ojek pribadi, istilahnya untuk teman perjalanan … hehehehe …
Dea : Hei ! Ide seru ! Tapi … kenapa musti kalo lo keterima di Media Indonesia ?
Mahel : Gua ada rencana pindah kerja dan temen-temen gua tinggalnya di daerah sana. Jadi gua dan temen-temen gua ini punya rasa jenuh yang sama sama kerjaan. Kita suka ketemu di satu tempat, minum kopi, internetan … well … tapi kalo gua nggak keterima di Media Indonesia, I will make a deal to make friends with anybody (senyum).
Dea : Baiklah. Hel, apa yang lo nggak suka dari kota Jakarta ?
Mahel : Traffic, temperamen orang-orangnya, cost hidupnya, polusinya, kesan yang gua dapet, kebahagiaan harus selalu berupa uang.
Dea : Tapi sekarang kan elu udah mulai membersihkan kaca jendela lu, tuh … jadi gimana sekarang lu mandang semua hal itu ?
Mahel : Iya, mulai. Harapannya dengan melihat kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang nggak butuh uang kayak yang lo ceritain (Dea sempat bercerita tentang supir angkot dengan celetukannya yang lucu-lucu, sticker bunga warna-warni di bus, dan variasi pengamen di Kopaja). Terus gua juga perlu memperbaiki temperamen diri gua sendiri. Jadi kalopun orang Jakarta temperamennya gede, kita biasa aja. Nggak keganggu. Relieve. Memaafkan Jakarta karena Jakarta memang begitu.
Dea : Waaah … manis sekali …btw, sekarang kan lu pulang ke Bandung, nih, liburan. Ini termasuk upaya “membersihkan kaca”, nggak ?
Mahel : Iya juga. Gua stress kerja. Ada perbedaan artistik antara gua sama bos gua. On the other hand, gua ngerti kalo dia tipe bisnis, kuantitas, dan gua tipe kualitas. Dengan seminggu di Bandung, gua ngebersihin kaca jendela mobil gua sebentar. Gua ngebawa kerjaan gua ke rumah …
Wawancara diakhiri. Mungkin dengan menjadi penyalamatahari edisi “Jakarta”, Mahel pun membersihkan jendela; berupaya membaca situasi dengan melihat ke dalam dan keluar.
Selanjutnya, ia mungkin akan berkeliling Jakarta dengan kaca mengkilat. Hmmm … ada yang mau ikut ?
Sundea
Komentar
Jempol!
@Aditya
Thanks for the thumbs, dude! Hehehe. Semoga semakin lama semua hal yang menyebalkan bisa kita maafkan. Berawal dari Jakarta (hehe)
aku ternyata nggak bisa.
setiap membayangkan yang harus dilihat di luar jendela waktu pagi-pagi kereta dari arah timur mulai masuk jabotabek ke arah pusat kota, perut rasanya mual dan ingin muntah.
aku nggak bisa ingat dengan jelas yang aku lakukan tahun 2008, yang sebagian besarnya dihabiskan di Jakarta.
:P
(jempol keatas) like this
@Mindang : Mungkin Mahel Lebaran setiap hari, jadi dia bisa memaafkan Jakarta, Mir ... hehehe ...
@Anonim : Thank you, lho. Mahel, elu dpt dua jempol, tuh. Satu dari Ndit, satunya lagi dari Anonim ...
termasuk sebuah penerimaan kan de...????
hehe.....
@Mahel : Wah, kalimat lo jadi quote kesenangan masyarakat, nih ...