Framing dan packing adalah dua hal yang sangat dekat dengan Agus Bebeng. Dengan kameranya, stringer photographer Kantor Berita Antara ini kerap ber-backpacking ke sana ke mari untuk mem-frame berbagai warna dan bentuk.
Ketika ditemui di Pasar Seni Tamansari, ia sedang duduk sendirian; tersembunyi di antara lukisan-lukisan Mas Suherman. Ada yang berbeda dengan pria eksentrik yang biasanya selalu ngaco-ngaco itu. Tampaknya backpacking dan framing yang dilakukannya di akhir tahun membuatnya lelah dan resah.
Sundea : Menurut Mas Beng, backpacking itu apa ?
Mas Bebeng : Menjadi sistematis. Bagaimana kita memilih sesuatu. Apa yang perlu ditinggal, apa yang tidak. Kadang dengan backpacking, kita kembali ke konsep nihilisme. Nihil saja semuanya. Menurutku, backpacking juga cultural studies. Yang musti kita kemas bukan cuma barang, tapi juga pengetahuan dan perasaan.
Sundea : Hmmm … taun lalu apa yang Mas Beng kemas ?
Mas Bebeng : Aku mengemas phobiaku sama air. Kemarin itu aku melakukan perjalanan backpacking “Ekspedisi Garis Depan Nusantara”. Aku menyusuri pulau-pulau Sumatera yang merupakan pulau terluar Nusantara dan itu melewati air. Aku sempat stress dua-tiga hari, tapi kemudian terbiasa.
Sundea : Dari backpacking-an itu, Mas Beng nge-frame apa ?
Mas Bebeng : Kesakitan.
Sundea : Wuidihhh … kenapa kesakitan ?
Mas Bebeng : Dari sekian banyak yang aku lihat, semuanya tentang kesakitan. Memotret itu adalah ketika kesakitan orang, kegelisahan orang, bisa masuk ke dalam frame lalu menggelitik sensibilitas orang yang melihatnya.
Sundea : Kalau framing sendiri menurut Mas Beng apa ?
Mas Bebeng : Mem-frame itu menelisik … yah … sekitar seperseratus sekon dari sekian juta menit, sekian juta detik peristiwa. Kita juga perlu mem-frame persoalan yang menyentuh, mencium, bahkan menyetubuhi. Membuat satu kajian sendiri mengapa peristiwa itu hadir kepada kita. Selalu ada pembelajaran dari peristiwa itu.
Sundea : Jadi kalau konteksnya persoalan, framing-nya ada di pembelajaran itu ?
Mas Bebeng : Ya.
Sundea : Mas Bebeng serius amat, sih? Lagi galau, ya ? Dea baru sekarang, lho, liat Mas Beng segini galaunya …
Mas Bebeng : Aku kalau galau memang disembunyikan. Kasihan kalau aku datang ke mana, gitu, membawa persoalan.
Sundea : Emang nggak kepengen berbagi, ya ?
Mas Bebeng : Aku berbagi dengan semesta …
Dalam perjalanan, Mas Bebeng banyak berbagi dengan semesta. Setelah sekian lama mengenal Mas Bebeng, baru sekarang Dea paham betul mengapa ia yang kerap suka melucu justru paling sering mengemas dan membingkai kesakitan dalam foto-fotonya.
Dea jelas melihat. Semesta yang terluka dan dirinya ketika terluka mempunyai keeratan yang istimewa.
Berikut adalah sedikit oleh-oleh dari Mas Bebeng :
Anak Camar, Sedang Begadai Sumatera Utara
Hampir 24 jam mereka hidup di air. Mereka berenang dan mencuri ikan nelayan. Cita-cita mereka tidak tinggi. Salah satu dari mereka hanya ingin menjadi “anak itik” yang mengepel geladak kapal.
Mereka menghirup Aibon untuk kesenangan. Ketika kembali ke air, mereka tak bisa berenang dengan benar. Akibatnya, tak jarang beberapa dari mereka terseret arus dan dada telanjangnya tercabik oleh baling-baling perahu motor.
Mereka hidup di laut.
pun mati di laut.
Komentar
salamhangat buat mbak Dea dan mas Bebeng.
saya suka penulisan mbak Dea.
aduh.. saya miris dengan oleh-oleh mas Bebeng itu... huhu..tapi itu sangat oke!hehe..
dan ketika kesakitan itu menjadi satu komoditi, apa yang harus kita lakukan?
Iya. Aku juga sedih banget dengernya. Bukan cuma itu, lagi, cerita sedih Mas Bebeng. Kebayang kan, kenapa dia galau di awal taun ?
Getirr!!
Itu Mas Bebeng yg beda 180 derajat dari yg biasa ya...
Wahhh jd kangennn!!
Dea n Mas Bebeng ayo maen ke Madfal lg!! >,<