Jantung

“You Jump, I Jump”
-film Titanic-

sigunting

“Gleg !” gedung mall menelan manusiamanusia. Mereka yang berjantung itu lalu menjantungi kokoh dan dingin mall. Pada gerai, koridor, dan eskalator yang menetap, manusia yang tak tetap berlalu dan berlalang. Mereka berinteraksi, bertransaksi, bahkan bersendiri di tengah keramaian.

“Gedebuk !” manusiamanusia yang bertolak dari puncak mall jatuh menghantam bumi. Entah menantang atau justru memasrahkan diri kepada gravitasi. Mereka yang berjantung membungkam paksa jantung mereka sendiri, sementara mall tetap dijantungi oleh peristiwa yang berdegup.

Ice Juniar jatuh dari lantai lima Grand Indonesia
Reno Fadillah Hakim tewas di Senayan City, Jakarta
Chandra Kurniawan jatuh dari lantai 11 Mangga Dua Square

Meski menelan nyaris apa saja, mall nyaris tak pernah memuntahkan siapa-siapa. Ia membiarkan isi perutnya menentukan pilihan. Manusiamanusia yang memilih membuat keberdirian mall yang statis senantiasa punya detak.

Lalu kenapa manusia berbondong-bondong memilih mall sebagai area bunuh diri ? Apa karena mereka tahu meski jantung mereka henti, akan ada jantung lainnya yang berdegup ? Atau karena mall yang berjantung manusiamanusia itu memang menghimpun manusiamanusia untuk mencipta trend ?

Di antara beragam pertanyaan dan jawaban yang mengapung, melintas quote favorit Theoresia Rumthe, karib saya yang penyiar Sky FM, “Menulislah dan jangan bunuh diri !”

Pagi itu buku harian saya telentang diam mematuhi hukum gravitasi. Bolpoin saya bunuh diri. Mencurahkan tintanya di atas kertas. Pelan-pelan ia mewakili isi kepala saya yang tak tentu arahnya. Mall-manusiamanusia-kehidupan-kematian-gravitasi-setiap orang yang pada akhirnya akan kembali menyentuh tanah …
Dug-dug-dug-dug … ada yang berdegup, dan … “Gleg !”

Pagi itu saya menelan peristiwaperistiwa. Tanpa terlalu banyak mengunyah.

Sundea

Komentar