Gadis Cilik di Jendela dan Gadis yang Membaca Jendela*

totto-chan1 Buku Totto-chan adalah jendela kayu berkusen klasik-artistik. Saat saya lewat di depannya, seorang gadis cilik di jendela memanggil saya, “Hei, kamu ! Iya, kamu yang bawa-bawa tas besar, sedang apa ?”

Singkat cerita, saya mampir ke dekat jendela dan segera akrab dengan gadis cilik itu. Namanya Totto-chan. Ia ceriwis, periang, kreatif, agak sulit diatur, namun pada dasarnya sangat hangat dan perasa. Pipinya kemerahan. Matanya sipit. Ia kerap mengepang rambutnya dan kadang menjepit kepangan itu di ketiak.

“Aku punya banyak cerita menarik. Pasti karena aku bersekolah di Tomoe,” kata Totto-chan seraya merapat ke jendela. “Tomoe ? Memang seperti apa, sih, sekolahmu ?” tanya saya. Jari-jari mungil Totto-chan menunjuk jajaran gerbong kereta di belakangnya.

Ternyata Tomoe adalah sekolah dengan gaya pendidikan alternatif. Anak-anak tidak belajar dalam ruang kelas biasa, melainkan di gerbong-gerbong kereta. Mereka pun boleh berkonsentrasi secara khusus pada pelajaran yang mereka sukai. Tai-chan, misalnya, tak henti-henti belajar fisika.

“Tai-chan adalah orang yang aku suka,” Totto-chan berbisik-bisik. “Oh, ya … ? Apa yang membuatmu suka padanya ?” tanya saya, berbisik-bisik juga. “Dia sangat pintar. Setiap hari aku merautkan pinsilnya, padahal pinsilku sendiri kuraut dengan gigi,” sahut Totto-chan. Saya ingin tertawa, tapi karena Totto-chan tampak serius, saya berusaha menahan rasa geli saya. “Kamu anak yang manis, pasti dia juga suka padamu,” ujar saya. Totto-chan tampak sedih. Ternyata hari itu dia melempar Tai-chan dari arena gulat sumo sampai Tai-chan sangat marah padanya. “Dia bilang dia tak akan mau menikah denganku meski aku memohon-mohon,” ujar Totto-chan. Totto-chan lalu berbalik. Saat itu saya melihat dua Totto-chan yang saling memunggungi sekaligus dua Tai-chan yang saling berhadapan. Di dan dari luar jendela. [1]

Totto-chan benar. Bersekolah di Tomoe membuatnya punya banyak cerita menarik. Di sana ia belajar menjadi hidup dalam sebuah kehidupan. Ia belajar bertoleransi dan memahami perasaan orang lain[2], belajar bahwa perdamaian tetap pilihan meski perang tengah berlangsung[3], dan belajar mengenal mati dan kematian sebagai bagian dari hidup dan kehidupan[4] . Jendela Totto-chan begitu bening. Saya bisa melihat semuanya dengan jelas sekali.

Namun, murid-murid Tomoe pun tak kehilangan kebermainan kanak-kanak mereka. Pada suatu kali mereka melintasi sebuah sumur gelap. Sakko-chan, salah satu teman Totto-chan, percaya ada bintang jatuh di dalam sana.

“Kau pernah melihat bintang itu ?” tanya Totto-chan

“Belum, belum pernah …,” sahut Sakko-chan

“Kenapa bintang itu tidak bersinar, ya …? Oh, mungkin mereka sedang tidur.”

“Memangnya bintang bisa tidur ?”

“Kurasa mereka harus tidur di siang hari, lalu bangun dan bersinar di malam hari.”[5]

Saya cekikikan mendengar percakapan khas anak-anak itu. Saya mencoba mendengar percakapan mereka selanjutnya, tapi tidak berhasil. Suara memang tak selalu berhasil utuh menembus keluar  jendela. Meski demikian, setiap kehalusan yang mereka tiupkan menembus jendela dan merasuki saya seperti hantu. Diam-diam saya jadi mempertanyakan lagi makna kemerdekaan, persahabatan, pendidikan, idealisme, kasih sayang, keberpihakan …

“Tuk … tuk … tuk …” saya tersadar dari lamunan saat jendela Totto-chan diketuk halus. Pak Sosaku Kobayashi, kepala sekolah Tomoe yang berwajah ramah, berdiri di sana. “Kenapa di dalam saja ? Ayo bermain bersama kami,” ajaknya hangat. Tunggu dulu. Saya … ? Di dalam … ?

Saya mengamati dunia di sekitar saya. Selama ini saya pikir sayalah yang berada “di luar” dan mereka “di dalam”; ternyata tidak. Ruang saya berbatas pada apa yang terlihat dan terjangkau dan waktu saya berbatas pada “saat ini”.

“Buku adalah jendela menuju ke mana saja, Nak,” kata Pak Sosaku Kobayashi kepada saya. Ia pun tersenyum sambil berlalu.

Buku Totto-chan adalah jendela kayu berkusen klasik-artistik. Pada ruang dan waktu saya, dia adalah satu-satunya jalan menuju keluar. Tidak ada pintu. Saat Totto-chan lewat di depan jendela, saya memanggilnya, “Hei, kamu ! Iya, kamu yang suka menjepit kepang di ketiak, sedang apa ?” Totto-chan menoleh lalu tersenyum riang. Dengan gerakan tangan, ia mengisyaratkan saya untuk ikut keluar. Saya membuka jendela dan melompat tanpa ragu lagi.

Di luar sana, saya merasakan angin yang istimewa. Mereka begitu merdeka memintas sejarah

*ditulis untuk Theo’s Book Review di Sky 9050 FM, Kamis 13 Agustus 2009, pukul 13.00-14.00


[1] Halaman 190-192 : “Pengantinnya”

[2] Halaman 197-200 : “Pita Rambut”

[3] Halaman 212-215 : “Anak yang Bicara Bahasa Inggris”

[4] Halaman 223-226 : “’Yasuaki-chan Meninggal !’”

[5] Halaman 50 : “Berjalan-jalan Sambil Belajar.”

Komentar

^mariaannayovita^ mengatakan…
semua esensi buku toto-chan bisa kamu tuangkan dengan bening, apa adanya.
buat aku, buku ini yang bikin aku jatuh cinta kesekian kalinya sama duniaku, jadi aku seneng banget sama tulisan kamu ini de :))
lewat buku ini juga aku belajar banyak..
thanks a lot for remind me my dear sister, why am i falling in love with this world :) *hugs dan usap2 pastinya..*
salamatahari mengatakan…
You're welcome, Honey ... ^_^
Bagia mengatakan…
WAAHHHHH DEA INI SALAH SATU BUKU FAVORIT BEGY!!!!!!!!!

Perspektif anak-anak memang indah dan sangat menyentuh...
salamatahari mengatakan…
Iya, Beg, betul ...

Sebenernya persepsi begitu bukan cuma punya anak-anak, kok, kalo pun udah gede, kita masih bisa berpersepsi begitu ^_^
Karen mengatakan…
Iya, keren pisan ini buku De. Jadi pengen baca lagi.
Sundea mengatakan…
Iya, Kay, coba geura baca lagi, siapa tau jadi terinspirasi buat ngebimbing anak kamu entar ...

(wondering kapan kira2 bakal punya ponakan =p)
Karen mengatakan…
Iya, pada akhirnya kita beli di Amazon yang bahasa Inggris, De.
Ponakanmu, hopefully next year ;)
salamatahari mengatakan…
Bener, Kay ? Next year kemungkinan ada ponakan ? Asiiiik ... asiiik ... pasti anak kamu sama Martin bakal lucu banget, deh ... =D