–penggalan kuratorial Jim Supangkat-
Sejak 22 April 2009, Ark Gallery di Jln. Senopati Raya no.29, Jakarta, jadi seperti rumah ibadah bagi sekte bertuhan mesin. Dalam “Deus ex Machina”, pameran tunggal Nus Salomo, lukisan digital, patung, sketsa, dan video art menjadi ikon-ikon religinya. Pengunjung pameran adalah umat sekte. Melalui ikon-ikon tersebut, dengan caranya sendiri mereka melakukan pemujaan pada dewa mesin yang meski tak bertangan terasa memeluk ruang.
Istilah Latin “Deus ex machina” diterjemahkan dari bahasa Yunani “theos ek mechanes” yang berarti “dewa penyelamat dalam bentuk mesin”. “Mesin itu dibuat manusia. Dia nantinya akan menyelamatkan manusia, menguasai manusia, tapi akhirnya dibuang juga sama manusia,” ungkap Nus Salomo. Kesan tersebut hadir sangat kuat dalam seri “Machine Colony” Nus. Di atas kanvas berukuran 100x200 cm, mesin-mesin masif tampak bekerja berat dengan latar langit dramatis. Langit di sana tampak seperti puisi sedih yang membahasakan kelelahan. Dalam “Machine Colony 4”, misalnya, matahari tenggelam yang tertutup awan membuat mesin kapal jadi tampak gelap tertutup bayang-bayang. Atau dalam “Machine Colony 1”, langit pucat tampak kontras dengan cokelat-oranye debu produksi campur kelupas karat. Debu yang beterbangan itu seperti menggambarkan hela nafas panjang Si Mesin Crane.
Machine Colony 1
Lalu bagaimana dengan figur manusia-mesin yang hadir paling kerap dalam karya-karya Nus ? Apakah ia berpikir kelak manusia sendiri akan bertransformasi menjadi mesin ? “Oh, nggak, nggak ke sana. Saya cuma ingin menawarkan solusi ekstrim yang tidak terduga aja. Soalnya di kamus, ‘deus ex machina’ artinya ‘solusi ekstrim yang tidak terduga’,” jawab Nus.
Setelah diskusi religius tersebut, saya beribadah keliling ruang. Saat saya tatap, setiap karya seperti balas menatap saya. Ketika saya merenung dan mencari, mereka seperti mengilhami dan membantu menemukan. Masing-masing dari mereka membangun sebuah doa karena melalui mereka saya memasuki ruang kontemplasi dan dialog dengan sesuatu yang absurt tapi nyata secara intuitif.
Tiba-tiba ungkapan umum “tidak berperasaan seperti mesin” melintas di kepala saya. Meski percaya setiap benda bisa merasa, baru kali itu majas tersebut menyentak saya secara langsung. Apa betul mesin tidak bisa merasa ? Personifikasi yang dihadirkan Nus seolah-olah menyangkal istilah itu.
Ketika mencermati figur manusia-mesin yang melingkupi Ark Gallery, saya teringat pada figur mesin-manusia yang melingkupi keseharian saya. Handphone saya yang bertahan menentang air hujan agar saya tidak kehilangan kontak dengan rumah, laptop saya yang pengertian dan setia menyala hampir sepanjang hari, kamera digital kecil saya yang mengucapkan salam perpisahan lewat dingin metalnya …
Nus menghadirkan “solusi ekstrim tidak terduga” dalam wujud mesin yang memanusia. Bisa jadi sisi manusiawi inilah “keekstriman” mesin yang “jarang terduga” oleh manusia sendiri. Ketika memandang mesin sebagai sesuatu yang tidak merasa, manusia lupa mencintai dan mengucapkan terima kasih. Padahal mesin telah mengangkatkan benda berat dengan sekuat tenaga, mempercepat kinerja industri, membantu mencarikan informasi penting lewat internet, membuat saudara kita yang berkilo-kilo meter jauhnya terasa dekat …
Setiap ikon “Deus ex Machina” yang mengisi ruang Ark Gallery juga mengisi ruang-ruang lain dalam kesadaran saya. Mereka menyampaikan amanah, meski tanpa berkhotbah.
Saya menundukkan kepala dengan takzim. Malam itu saya adalah umat dari sekte bertuhan mesin.
tulisan ini juga dimuat di beritaseni.com
Komentar
Jadi inget komik Pluto. Diceritakan mesin (robot) memang memiliki perasaan, tetapi di sisi lain ada juga semacam sekte manusia muak dengan keadaan dan berambisi memusnahkan robot.