Pada suatu hari, buku-buku di toko buku langganan saya bergosip.
“Katanya mau ada temen baru …”
“Betul, namanya 9 Matahari. Namanya cerah, ya … ?”
“Iya. Moga-moga dia bisa bikin toko kita anget dan terang …”
Sebagai penyuka matahari, gosipan itu tentu menarik perhatian saya. Saya jadi penasaran. Bersama buku-buku, saya ikut menanti 9 Matahari dengan hati berdebar.
Beberapa hari kemudian, teman yang ditunggu tiba. Warnanya merah keoranyean. Tebalnya 359 halaman. Saat saya menjabat halamannya, dengan mantap 9 Matahari berkata, “Keinginan kuat itu tekad, bukan nekat!” Wueitsss …
“Kamu pengen cerita tentang apa, sih ?” tanya saya.
“Tentang perjuangan seseorang dalam menuntut ilmu, menjadi sarjana,” sahut 9 Matahari.
“Wow … kayaknya seru … yuk kita ngobrol …”
9 Matahari mengawali kisahnya dengan upaya Matari, aku lirik dalam cerita, mencari uang pinjaman untuk masuk kuliah. Meski harus berhutang ke sana ke mari dan melibatkan sang kakak untuk ikut menjamin, Matari berhasil mencapai apa yang dia inginkan. Selanjutnya, saya membiarkan 9 Matahari bercerita panjang lebar tentang cita-citanya. Tentang keluarga Matari. Tentang hutang-hutang Matari. Tentang kuliah Matari. Tentang orang-orang di sekitar Matari. Dan tentang-tentang lain yang berpusat pada diri Matari.
Keberpusatpadadirian itu melahirkan tuturan naratif yang melelahkan. Karena segalanya bermuara pada “bagaimana aku”, “supaya aku”, “aku harus”, “aku adalah”, “sebetulnya aku” dan aku-aku lainnya, 9 Matahari lupa mengaya tokoh-tokoh di luar aku lirik dengan pandangan yang luas dan adil. Misalnya saat Matari bertutur tentang Pandu, mantan kekasihnya (halaman 305).
“Aku tahu Pandu kurang suka bersosialisasi.”
“Ia seperti tak mau memahami orang lain.”
“Kalau saja orang-orang di dekatnya bukan Tante Erna dan aku, lalu akan seperti apa dia memperlakukan orang-orang itu.”
Pandu tidak diberi kesempatan untuk memperkenalkan dirinya sendiri, bahkan lewat perkataan atau pembawaan yang bebas nilai. Ia jadi sempit, berbatas pada pandangan aku lirik yang sangat subyektif sifatnya.
Keberpusatpadadirian Matari pun dapat dibaca melalui pandangannya yang kerap defensif. Misalnya, saat ia bekerja di McDonald dan di- complain karena pesanan yang terlambat datang (halaman 31) :
Sayangnya, tak ada yang bisa kulakukan selain memohon maaf dan menjelaskan bahwa customer sore ini banyak sekali dan persediaan makanan kurang sehingga harus dimasak dulu, dan bukankah mereka sudah bersedia menunggu ? Tapi mereka seperti tak memedulikan aku.
atau ketika Matari meminta cuti pada Pak Wanisar, dosen walinya (halaman 243-244) :
Aku sudah berterus terang mengatakan yang sejujur-jujurnya pada dosen waliku bahwa aku tak punya biaya untuk melanjutkan lagi. Aku mau rehat dulu. Tapi beliau seperti tak mengindahkan permohonanku. Bisa jadi dia tidak percaya. Aneh sekali!
Kisah panjang 9 Matahari akhirnya berujung pada keluluskuliahan Matari, dan dibungkus dengan sebuah epilog. Saya yang duduk menghadapnya menarik nafas lega.
“Kamu berusaha banget untuk jadi terpandang, ya?” tanya saya. “Iya. Aku ingin menjadi matahari,” sahut 9 Matahari mantap.
Setelah berkemas, saya pamit. Hari itu matahari bersinar cerah. Sambil menunggu angkot, saya menghayati hangat sinarnya yang menyentuh ubun-ubun. Pun cahayanya yang memantul di jendela-jendela mobil, membuat daun bersemir kilau, dan mempertegas bayang-bayang pohon. Namun, ketika saya mencoba memandang matahari itu sendiri, mata saya refleks menolak karena silau.
Sambil naik ke dalam angkot, saya sadar sesuatu. Matahari tidak minta dipandang. Ia adalah satu mata yang memandang semuanya.
Komentar
dea, aku sekarang jadi penggemar tulisanmu!!!!!!!!!!!!! hehehehe...
Eh, entar bikin puisi bareng yuk!!! ntar kutempelkan di buku terbaruku yang sedang kumasak sampai matang ini, hehehe... mau ya? mau? mau? mau? :)
@IBS : Makasih ... tapi gue nggak segitu2nya, kok, IBS ...
Sebenernya, sih, gue rada jarang bikin puisi ... jadi ... nggak yakin, euy ...
salam kenal
Bagus itu. Hehehe.
jangaan lupa mampir-maampir yah, di tunggu loh
Ngga gitu bagus, dan gw stop di halaman-halaman awal.
Entah.., padahal sesama anak perantauan (ke Bandung pula).. mungkin karena cerita"nya" terlalu dibesar-besarkan? :P
oh ya, saya setuju sama yang lain.. resensimu unik-unik banget :) boleh aku ikut-ikutan bikin resensi yang sama? :)
"panah hujan"
salam :)