Merenungkan Waria


"Saya sepenuhnya yakin DIA tidak sedang bermain dadu."

-Albert Einstein-

Malam sudah sangat larut ketika Tuhan selesai menciptakan beberapa manusia.

“Tinggal dikemas, nih,” kata Tuhan puas. “Besok pagi saja, Tuhan, mata Anda sudah merah,” saran seorang malaikat. “Sekarang saja, ah, Saya tak suka menunda pekerjaan,” kata Tuhan sambil menguap. Maka, meskipun dengan mata merah dan berkantung, Tuhan menuntaskan pekerjaan-Nya.

Karena sudah lelah Tuhan salah packing. Ada laki-laki yang dikemas dalam tubuh perempuan dan perempuan yang dikemas dalam tubuh laki-laki.

Setelah menulis cerita itu saya merenung. Masa, sih, kejadiannya begitu amat? Sekenal Dea Tuhan sangat hati-hati. Apa mungkin Dia membuat malpraktek demikian parah? Kalau bukan malpraktek, apa yang terjadi di surga saat Tuhan menciptakan waria?

Akibat perenungan tersebut, lahirlah cerita lainnya :

Tuhan adalah seniman post-modernis. Pada suatu hari Dia menciptakan perempuan dengan kemasan laki-laki dan laki-laki dengan kemasan perempuan.

“Apa tidak terlalu kontroversial, Tuhan,” tanya seorang malaikat. “Namanya juga karya seni,” tanggap Tuhan. Dengan kasih dan pemikiran yang tidak sembarangan, Dia mengirim karya-Nya ke dunia.

Setelah menulis cerita itu Dea merenung lagi. Kalau waria memang karya seni, kenapa Ia membenturkan mereka dengan dosa, hukum-Nya sendiri ?

Pertanyaan itu menjadi “bekal” kelanjutan cerita Dea :

“Tuh, kan, Tuhan, apa kata saya? Waria-waria itu menjadi masalah. Karena isi dan kemasan tidak sesuai konvensi, mereka berdosa,” kata malaikat. Dengan kasih Tuhan menatap para waria, “Memangnya siapa yang menentukan konvensi dan dosa,” tanya Tuhan dengan suara-Nya yang berat, dalam, dan arif. “Lho, bukannya Anda,” Malaikat balik bertanya. Tuhan mengangkat wajah-Nya yang bersinar. Ditatap-Nya malaikat dengan senyum penuh rahasia.

….

(bersambung di renungan teman-teman masing-masing)

Komentar