Melantangkan Mantra Rantai

 "Tegakkan bahu kamu. Keberanian adalah kekuatan pertama yang harus kau tunjukkan"
- Stella, Langit Magenta.
 
Beberapa tahun lalu, saya dikejutkan dengan kasus pelecehan yang menimpa salah satu kenalan saya. Kami yang berada di sekitar korban (sebut saja Gadis) tentu prihatin. Sebisa mungkin kami mengulurkan tangan untuk membantu Gadis. Saudara Gadis yang sarjana hukum mencari kemungkinan membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Saya sendiri mencoba menemani Gadis menghadapi masa-masa sulitnya. 

Ketika saudara Gadis sudah berhasil mempelajari prosedur, menyusun rencana, dan menyampaikan langkah-langkah yang harus kami--terutama Gadis--ambil, sikap Gadis tiba-tiba berubah. Mendadak ia enggan membawa kasus tersebut ke jalur hukum dan meminta masalahnya tak diperpanjang.

"Kenapa? Banyak yang bantu kamu," kata saya.
"Aku takut di-spill di Twitter."
"Kalau orang itu berani spill di Twitter, bukan kamu yang malu, tapi dia. Artinya kan dia buka aibnya sendiri," kata saya lagi.
"Nggak mau, kamu nggak tahu kayak apa kalau sampai di-spill di Twitter," kata Gadis dengan mata berkaca-kaca.

Demi kenyamanan Gadis, kami tidak jadi memproses kasus tersebut. Namun, hati saya tidak terima. Saya melihat bagaimana Gadis berjuang menghadapi trauma dan depresi, khawatir pada pandangan masyarakat, sementara pelaku menjalani hari-hari dengan tenang. Saya jadi bertanya-tanya. Apakah ada Gadis-Gadis lain di luar sana yang menyintas dalam sunyi dan sembunyi? Pasti ada.

Setelah Gadis bicara soal Twitter atau kini X, saya mulai menyimak dan menelusuri kasus-kasus pelecehan yang bergulir di media sosial tersebut. Saya jadi paham mengapa Gadis takut. Pada kenyataannya, pelecehan dan kekerasan seksual tak selalu hadir sebrutal adegan pemerkosaan di film-film Suzzana. Seringkali kasus pelecehan dan kekerasan masuk lewat jalan abu-abu, abuse of power, dan manipulasi psikologis yang diafirmasi oleh stigma. 
 
Korban jadi menanggung lebih banyak risiko dibandingkan pelaku. Bahkan, riuh rendah kasus pelecehan atau kekerasan seksual tak selalu diakhiri dengan konsekuensi hukum bagi pelaku. Saya melihat ending ini sebagai preseden buruk. Tak adanya konsekuensi hukum membuat pelecehan dan kekerasan seksual diterima sebagai sesuatu yang "tak seburuk itu" di masyarakat. Istilah "dibungkus", yang artinya mengangkut perempuan mabuk untuk ditiduri, sering muncul sebagai candaan, padahal jelas-jelas itu adalah praktik pemerkosaan. Bungkamnya korban membuat pelaku leluasa menciptakan narasi sepihak untuk kepentingannya sendiri. Tak jarang pelaku tetap aman di posisi terhormat yang memungkinkannya menekan korban. Saya beberapa kali menyaksikan letupan-letupan speak up--dari korban maupun orang-orang di sekitar korban--di media sosial, namun tak lama kemudian lenyap begitu saja seperti percikan kembang api di angkasa. Ada satu kesamaan yang saya cermati. Letupan speak up itu selalu disampaikan dengan marah dan frustrasi. Saya sangat paham mengapa.
 
Beberapa waktu belakangan, terbongkarnya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sedang marak. Saya menyambut baik lembaga pendidikan yang berani menunjukkan sikap dan bertindak tegas. Saya melihat, nilai-nilai yang dipegang institusi terpercaya mengambil peran sebagai kompas moral. Namun, jalan menuju situasi ideal ternyata masih panjang. Urusan konsekuensi hukum masih sangat alot dan berliku.
 
Penasaran, saya mengecek draft final RUU TPKS di sini. Sebagai awam, saya rasanya dapat menangkap isinya tanpa kesulitan. Di dalam undang-undang tersebut praktik kekerasan seksual dijelaskan dengan terang berikut konsekuensi hukumnya. Tak hanya pemerkosaan brutal seperti di film-film Suzzana, dengan cermat hukum telah menjabarkan bagaimana kekerasan seksual dapat hadir lewat pelecehan nonfisik, abuse of power, bahkan informasi elektronik. Undang-undang ini pun sudah disahkan sejak 2022 silam.
 
Saya teringat kepada Gadis dan mengerti mengapa saudaranya begitu optimis. Jika mengacu pada hukum, kunci utama yang dibutuhkan hanya delik aduan dari Gadis. Namun, Gadis menolak memberikannya dan saya tidak menyalahkannya sama sekali. Saya semakin menyadari, stigma adalah hantu yang jauh lebih besar daripada hukum itu sendiri. Ia makhluk purba yang dititipkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dipelihara di bawah kesadaran, bersembunyi di balik norma, kemudian dibiarkan pegang kendali di dalam masyarakat. Lantas bagaimana cara melawannya?

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan Bill Cosby merupakan peristiwa yang patut kita lihat kembali. Demikian pula gerakan #MeToo yang mulai populer di Twitter pada tahun 2017. Laksana mantra, setiap pengalaman, ketakutan, dan perjuangan personal penyintas yang dirapalkan bersama-sama ternyata mempunyai daya yang tak pernah kita duga.

Sejak remaja saya mencermati, perempuan mempunyai relasi yang aneh dengan perempuan-perempuan lainnya. Stigma membuat mereka kerap melihat sesama perempuan sebagai ancaman. Namun di sisi lain, ketakutan-ketakutan yang mereka bagi secara naluriah juga dapat menciptakan solidaritas yang sulit dilawan. Ketika kawan saya, Airin Efferin, berseru lantang untuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di sebuah kampus swasta Jakarta, saya paham alasannya. Ia bukan mahasiswa atau pengajar di kampus yang bersangkutan, bukan juga korban dalam kasus tersebut. Namun, sebagai perempuan penyintas, ia berbagi ketidaknyamanan yang sama dengan korban. Bedanya, ia memilih menerjang stigma dengan garang dan tak gentar pada ancaman konsekuensinya. Itu sebabnya saya memillih berdiri bersamanya. 
 
Apa yang Airin lakukan bukan upaya menjadi hero bagi siapapun, tetapi insting mempertahankan teritori, kebutuhan menciptakan ruang aman untuk perempuan termasuk dirinya sendiri. Saya tahu bahwa saya dan saudara Gadis yang juga perempuan mempunyai dorongan serupa. Itu sebabnya, ketika Gadis mengalami pelecehan, kami berdua sama marahnya, bahkan nyaris bertindak lebih keras daripada Gadis sendiri. Kami menautkan diri kepada Gadis untuk membangun rantai, melantangkan mantra rantai, yang ternyata retas.
 
Menurut saya, bagaimana pun juga konsekuensi hukum bagi pelaku wajib dijatuhkan. Hukum adalah cara untuk mendidik, menghisap stigma dari tengah masyarakat, dan menggantinya dengan pola pikir baru. Kita sering mendengar ungkapan "adil sejak dari pikiran". Tindak kekerasan seksual dan kelanggengannya pun dilakukan sejak dari pikiran. Perlu kita sadari, ternyata tingginya tingkat pendidikan tak serta merta memunahkan pola pikir primitif yang menormalisasi pelecehan dan cabang-cabangnya.

Lantas bagaimana jika pelaku sudah meminta maaf? 
 
Kita boleh memilih untuk memaafkan ataupun tidak memaafkan. "Maaf" adalah sesuatu yang bersifat personal, sementara konsekuensi hukum berada di tatar lain. 
 
Hukum perlu ditegakkan untuk keseimbangan sistem, sebab bukankah kehidupan pun menerapkan hukum sebab-akibat tanpa pernah berhenti memaafkan kita? 

Selamat hari keseimbangan,
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea


sumber gambar: Pinterest


Komentar