Sahaja

 -Bandung, 21 Agustus 2022-

Museum Geologi

Jika diajak menonton orkestra yang lengkap dengan penyanyi opera, apa yang teman-teman bayangkan? Gedung konser megah? Hening jempling sebelum musik dimulai? Musisi berpenampilan formal dan serius? Rangkaian aturan protokol? Harga tiket selangit? Rontokkanlah semua imaji itu saat teman-teman menonton Musik Museum.

Sejak 2017, bekerja sama dengan Museum Geologi, Acacia Youth Strings Orchestra (AYSO), satu-satunya kelompok orkestra gesek indie di Bandung, rutin menampilkan program konser di lantai dua museum tersebut. Karya yang dimainkan cukup beragam. Mulai dari komposisi klasik, opera, musik-musik populer, sampai karya anggota AYSO sendiri.

Jenis seni musik yang biasanya hadir eksklusif ini mengalir akrab dan bersahaja; lebur dengan segala aktivitas museum. Pada program Musik Museum edisi pekan lalu—Sabtu 20 Agustus dan Minggu 21 Agustus 2022—musisi-musisi AYSO tampil santai dengan kaus putih dan celana jin biru terang. 

Foto kredit: Mei Artanti

Ketiadaan panggung membuat penonton dapat duduk sedekat mungkin dengan area musisi. Bebas dari aturan protokol memungkinkan penonton mengekspresikan diri seapaadanya. Mereka bisa merespons musik yang mereka dengar secara interaktif dan bertepuk tangan di tengah-tengah lagu. Bahkan, meskipun menurut Nadira durasi program ini terhitung terlalu panjang untuk anak-anak, Arunika, puterinya yang berusia 4 tahun, bisa mengikuti program hingga selesai walaupun disertai berbagai selingan di tengah acara.

“Hiburan yang menyenangkan, konser yang bisa ditonton secara casual, gratis pula,” komentar Ningrum, salah satu pengunjung yang duduk melantai bersama teman-temannya. Tunggu dulu. Gratis? Serius, nih? Iya, betul, gratis, sebab, untuk dapat menikmati Musik Museum kita hanya perlu membayar tiket masuk Museum Geologi yang tiga ribu rupiah saja. TIGA RIBU, lho, Teman-teman, lebih murah daripada kapucino cincau. 



Arya Pugala Kitti, Direktur Musik AYSO, menyebut Musik Museum sebagai program outreach, suatu upaya untuk mendatangi penonton. “Ada satu yang nggak bisa didapatkan di tempat lain, yaitu keintiman organik dengan audiens yang jarang atau nggak pernah nonton orkestra,” kata Arya.

Tak hanya bermusik, setiap penampil mengantar karya yang akan mereka bawakan dengan cerita. Sejarah, istilah-istilah musik, dan tema-tema karya klasik pun sampai kepada pendengar dalam bahasa sehari-hari yang mudah dicerna. Ardelia Padma Sawitri misalnya, mengawali cupilikan opera “Plataea” dengan dongeng PHP dewa Jupiter. Demi membuat istrinya cemburu, Jupiter tega membuat peri katak bernama Plataea baper berat. Selanjutnya Ardelia menuturkan dongeng tersebut dalam nyanyian opera yang dramatik dan ekspresif. Setelah diberi pengantar, meskipun tak mengerti bahasa Perancis, penonton tetap bisa larut dalam karya yang ditulis Jean-Philippe Rameau itu.

Musik Museum pekan lalu adalah “edisi icip-icip” untuk konser tahunan AYSO tanggal 28 Agustus dan 3 September 2022 mendatang. Beberapa karya yang dimainkan di Musik Museum akan dibawakan lagi di “Kolase Irama Indonesia”. Judul “Kolase Irama Indonesia” diambil karena konser akan mengangkat karya-karya komponis Indonesia. Ada karya duo legenda Ismail Marzuki dan Iwan Abdurachman, karya Arya Pugala Kitti dan Lucy Freia yang anggota AYSO, dan… lagu dangdut ciptaan pentolan band Ungu: Pasha. Seperti apa, ya, kira-kira? Jawabannya, seperti mati lampu. Kalau teman-teman penasaran ingin menonton, berikut informasinya: 


Informasi selengkapnya di instagram @aysobandung

Setelah Musik Museum hari terakhir rampung, pemain yang baru saja tampil sebagai bintang beralih menjadi kru. Saya mendapati ada kehalusan yang mendorong mereka bergerak swadaya dengan penuh keikhlasan.

Melalui AYSO saya jadi kembali mengeja makna “seni” dan “sahaja”. Jika “seni” mengandung arti “kecil dan halus” sementara “sahaja” berarti “apa adanya", bukankah setiap kesenian seharusnya berangkat dari kehalusan yang paling sahaja?

Kadang-kadang kesenian perlu mengenakan pakaian kebesarannya.

Namun, di balik apa pun yang mereka sandang, tak pernah ada kesenian yang terlalu megah untuk membungkuk hormat.



Komentar