Trialog

Beberapa hari yang lalu Dea liat daun mahoni lepas dari rantingnya. Di antara kawanan capung, si daun nari-nari, ngelakuin pirouette kayak penari balet.

Nggak seperti capung, daun bukan terbang tetapi jatuh. Untuk sesaat mereka sama-sama ada di udara, tapi capung punya kuasa ngendaliin sayapnya, sementara daun mahoni enggak. Si daun nggak punya pilihan kecuali percaya sama angin.

"Kamu tau kamu bakal jatuh?" tanya Dea.
"Tau. Aku bakal jatuh pada tempatnya," saut daun mahoni.
"Terus 'tempat'-nya itu di mana?"tanya Dea.
"Itu yang aku nggak tau. Aku cuma tau aku bakal jatuh pada tempatnya."

Daun mahoni percaya angin nggak bertiup secara acak. Embusannya adalah bagian dari sistem besar yang kait mengait.

Tumbuh dan gugur pun bagian dari linimasa yang terjadwal cermat. Sadar bahwa tumbuh dan gugurnya punya peran untuk kehidupan lain bikin daun mahoni nggak harus ikut bimbang dibawa ombang dan ambing.

"Bahkan, ketika nggak lagi tumbuh, daun mahoni masih kasih kamu kesempatan mengalami ini," bisik suara yang udah Dea kenal jauh sebelum hari itu.

𝘈𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘨𝘢𝘨𝘪𝘭𝘪𝘳.
𝘕𝘨𝘶𝘳𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨.
𝘕𝘨𝘦𝘮𝘱𝘭𝘰𝘯𝘨.
𝘛𝘢𝘺𝘢 𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨-𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨


Hari itu juga, waktu ngeliat matahari terbenam tanpa perlawanan, Dea belajar untuk nggak ngelawan alam, sehingga, kalaupun harus jatuh, Dea tau Dea jatuh pada tempatnya.

Di manapun itu.


 

Komentar

Suatara mengatakan…
Hai Dea. Baca ini aku jadi ingat dengan webinar yang kuikuti di Bumi Langit Institut. Bahwa hidup kita kalau melawan arus akan cepat capek dan kehabisan nafas. Sebaiknya kita fokus bagaimana ikut arus tapi tidak tenggelam. Caranya kita pilih bertirakat pada alur air yang tidak begitu deras. Di sana kita bisa punya waktu lebih untuk merenungi dan mengamalkan prinsip hidup yang selalu punya niat untuk kebaikan, berproses, bersyukur, dan bersabar.

Teima kasih sudah menulis ini :)
salamatahari mengatakan…
Kak Suatara, makasih karena udah kasih tanggepan dan ngebagi pengalaman di Bumi Langit. Buat aku cerita Kak Suatara kekuatan banget, suatu sudut pandang yang ngelengkapin.

Terima kasih, ya :)