Beberapa hari yang lalu Dea liat daun mahoni lepas dari
rantingnya. Di antara kawanan capung, si daun nari-nari, ngelakuin
pirouette kayak penari balet.
Nggak seperti capung, daun bukan
terbang tetapi jatuh. Untuk sesaat mereka sama-sama ada di udara, tapi
capung punya kuasa ngendaliin sayapnya, sementara daun mahoni enggak. Si
daun nggak punya pilihan kecuali percaya sama angin.
"Kamu tau kamu bakal jatuh?" tanya Dea.
"Tau. Aku bakal jatuh pada tempatnya," saut daun mahoni.
"Terus 'tempat'-nya itu di mana?"tanya Dea.
"Itu yang aku nggak tau. Aku cuma tau aku bakal jatuh pada tempatnya."
Daun mahoni percaya angin nggak bertiup secara acak. Embusannya adalah bagian dari sistem besar yang kait mengait.
Tumbuh
dan gugur pun bagian dari linimasa yang terjadwal cermat. Sadar bahwa
tumbuh dan gugurnya punya peran untuk kehidupan lain bikin daun mahoni
nggak harus ikut bimbang dibawa ombang dan ambing.
"Bahkan,
ketika nggak lagi tumbuh, daun mahoni masih kasih kamu kesempatan
mengalami ini," bisik suara yang udah Dea kenal jauh sebelum hari itu.
𝘈𝘭𝘢𝘮 𝘯𝘨𝘢𝘨𝘪𝘭𝘪𝘳.
𝘕𝘨𝘶𝘳𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨.
𝘕𝘨𝘦𝘮𝘱𝘭𝘰𝘯𝘨.
𝘛𝘢𝘺𝘢 𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨-𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨
Hari
itu juga, waktu ngeliat matahari terbenam tanpa perlawanan, Dea belajar untuk nggak ngelawan alam, sehingga, kalaupun harus jatuh, Dea tau Dea
jatuh pada tempatnya.
Di manapun itu.
Komentar
Teima kasih sudah menulis ini :)
Terima kasih, ya :)