[REVIEW] Film "Detak" yang Nggak Review-review Amat

Waktu “Tarian Lengger Maut” tayang di bioskop, Dea sempet dilema. Karena ini naskah pertama temen baik Dea, Natalia Oetama, udah pasti Dea penasaran kepengen nonton. Tapi Dea takut nonton thriller atau horor karena efek sampingnya suka panjang. Akhirnya Dea nggak jadi nonton di bioskop. Tapi Dea ngeyakinin Lia betapa bangganya Dea sama dia. 

dok.pribadi Lia

Lia—Si Solar Sagitarius-Lunar Leo-Leo Midheaven—selalu nyambut tantangan dengan excited. Menurut Dea, nulis naskah film layar lebar adalah salah satu pilihan Lia yang sangat berani. Lia belum pernah nulis naskah film sama sekali. Aslik. Sama sekali. Dia cuma punya waktu 1,5 bulan untuk belajar nulis dan nyelesein naskahnya. Selain itu, selama kenal Lia, Dea tau Lia anaknya nggak thriller banget. Dia lebih banyak bikin tulisan perjalanan yang kontempelatif karena memang seneng mengembara ke mana-mana. Nulis fiksi pun seinget Dea hampir nggak pernah.

Tapi bukan Natalia Oetama namanya kalau nolak tantangan. Lia nyambut tawaran nulis itu dan berhasil nyelesein “Detak”, naskah pertamanya, yang judulnya jadi “Tarian Lengger Maut” begitu tayang di bioskop. Film ini disambut antusias, tapi nggak lepas juga dari kritik-kritik yang cukup tajem. However, sebagai penulis, buat Dea Lia udah lompat melampaui batas rata-rata. Dea sempet bilang kurang lebih gini:

“Li, untuk pengalaman pertama, orang normal udah disebut sukses ketika bisa lompat satu meter. Nah. Elu ngambil tantangan untuk lompat sepuluh meter. Jadi, seandainya lo bisa lompat sampe tiga meter, aja, sebetulnya lo udah melebihi kapasitas orang normal yang sukses.”

Tribun

Dea pikir Dea nggak akan pernah nonton “Tarian Lengger Maut”. Sampai kira-kira dua minggu yang lalu, Dea liat film ini tayang di Bioskop Online dengan judul aslinya: “Detak”. Dea langsung whatsapp Lia.

“Li, beda, nggak, ‘Tarian Lengger Maut’ yang tayang di Bioskop Online sama di bioskop offline? Kok ini pake judul aslinya?”
“Beda, De, yang di Bioskop Online versi director’s cut.”


cinemags

Dea langsung bertimbang. Nonton, nggak, ya? Lia sempet bilang “Tarian Lengger Maut” versi bioskop memang dipotong banyak. Akibatnya ceritanya jadi agak bolong-bolong. Dea jadi pengen tau kayak apa film itu kalau hadir utuh. Selain itu nonton di laptop kan nggak akan seserem nonton di bioskop. Kalau ketakutan udahannya gampang. Film itu pun cuma tayang sampai 3 Oktober 2021 di Bioskop Online. Dea sadar kebanyakan mikir bisa bikin Dea keilangan kesempatan liat film ini. Akhirnya Dea ngambil keputusan untuk nonton aja. Ikanpaus Dea minta nemenin dan bakal bertugas matiin laptop kalau Dea ketakutan dan harus cepet-cepet kabur dari hadapan layar.

Maka beginilah kira-kira penampakan kami pas mau mulai nonton. JRENG JRENG…

“Detak” nyeritain orang-orang Desa Pager Alas yang ilang satu persatu secara misterius. Orang-orang ini dibunuh sama dokter Jati (Refal Hady) yang terobsesi sama jantung manusia. Dokter Jati punya trauma masa kecil akibat bapaknya yang abusif. Didekap dan ngedengerin detak jantung ibunya bikin dokter Jati kecil ngerasa aman. Sampai pada suatu ketika, si ibu meninggal dibunuh bapaknya. Dokter Jati yang masih anak-anak nempelin telinga ke dada ibunya, tapi nggak lagi bisa denger detak di situ.

Sukma (Della Dartyan) adalah penari Lengger Pager Alas  yang baru dapet indang, roh yang ngasih dia perlindungan dan kharisma, terutama ketika nari Lengger. Setiap ngeliat Sukma, jantung dokter Jati berdebar kenceng dan dia nggak suka sama perasaan itu.

Pada suatu hari, dengan cara yang mistis indang ngasih tunjuk perbuatan keji dokter Jati ke Sukma. Nggak ada yang tau apa yang Sukma liat di dunia roh. Maka, waktu Sukma pingsan, warga ngebawa Sukma ke rumah dokter Jati untuk diperiksa. Di sanalah Sukma nemuin jantung-jantung warga Pager Alas yang disimpen di ruang rahasia sama dokter Jati.

Begitu sadar rahasianya ketauan, dokter Jati ngejar-ngejar Sukma yang lari ke hutan. Sukma berhasil ditangkep dan dibawa kembali ke ruang rahasia dokter Jati. Di sana dokter Jati meledak-ledak, nuduh Sukma pencari gara-gara, dan akhirnya ngeluarin jantungnya sendiri di hadapan Sukma dan mati.

Tamat.

Mengingat waktu penulisan dan latar belakang Lia, buat Dea hasil itu beyond real; udah kayak nulis pake jin. Walaupun nggak sempurna, segitu proper banget untuk tayang sebagai film layar lebar.

Alurnya menurut Dea cukup solid, runut, dan Lia berhasil masukin informasi budaya dan masa lalu dengan tricky dan smooth. Dea tau itu nggak gampang untuk film yang berusaha bergerak selinear mungkin. Karakter-karakternya pun konsisten dengan bagasinya masing-masing.

Kalau perkiraan Dea yang jadi beban justru genre thriller dengan sentuhan agak horor yang nuntut film ini disajiin secara serem, mistis, menegangkan, dan ngaget-ngagetin.

Tribun

Sejak awal film ini nggak banyak nyiapin kejutan. Kita langsung tau apa yang terjadi di desa Pager Alas dan siapa dokter Jati. Meskipun Refal Hady main bagus banget, untuk tokoh utama film thriller, dia nggak terlalu banyak dieksplor. Langkah-langkah si dokter dan siapa penduduk yang bakal mati berikutnya juga selalu bisa ditebak dengan gampang.

Kekuatan terbesar film “Detak” adalah sinematografinya yang cantik dan artistik, sembah sujud ke sutradara sekaligus DOP-nya, Yongki Ongestu. Di sepanjang film, mata kita selalu dikasih kenyamanan visual yang nggak main-main. Tapi ketika si film nyandang tanggung jawab untuk jadi thriller dengan segala atribut creepy-nya, apa yang diterima mata bikin penonton, yang harusnya ikut ngerasain ketegangan dan kenggaknyamanan di semesta kisah, malah jadi rileks dan terbuai. Sebenernya buat Dea yang penakut ini malah menguntungkan, soalnya Dea jadi bisa nonton “Detak” dengan tenang dan nyaman sampe filmnya abis. Mihihi.

imdb

Lengger juga hadir seperti sticker di permukaan. Soalnya, dengan ataupun tanpa Lengger, dokter Jati yang dari sananya udah terobsesi sama jantung manusia pasti tetep bakal ngebunuh-bunuhin orang. Debar jantung dokter Jati ketika ngeliat Sukma pun nggak mistis, manusiawi banget. Nggak begitu jelas juga bentuk perlindungan indang terhadap Sukma dan warga desa.

Mungkin kalau film ini nggak ditetapin harus jadi thriller, ada banyak kemungkinan yang bisa digali dengan leluasa. Menurut Dea judul “Detak” kuat banget untuk jadi benang merah masa kecil dokter Jati, obsesinya sama detak jantung, dan debar nggak terkendali yang muncul ketika dia liat Sukma. Ketiga titik perhentian itu bisa dihubungin dengan apa aja.

Manifestasi obsesinya juga nggak harus ngebunuh dan ngambil-ngambilin jantung manusia. Soalnya tindakan ini jadi nimbulin banyak pertanyaan buat penonton. Di awal film, lewat artikel koran, ada hint dokter Jati ngelakuin pembunuhan yang sama di daerah lain. Warga juga udah mulai sadar si dokter agak absurd antara lain karena hobi jajan toples yang adalah tempat dia nyimpenin jantung hasil cabutannya. 

Kalau ngeliat langkah-langkah dokter Jati di Pager Alas, sebetulnya tindakan kriminalnya yang berpola bisa dibongkar dengan mudah. Apa lagi dia nyimpen barang-barang bukti, termasuk foto korban ketika dibunuh, di ruang rahasia yang nggak susah ditemuin. Secara logika rasanya nggak harus indang yang ngasih tau perbuatan dokter Jati.

Seandainya film ini nggak harus jadi thriller, ada lebih banyak ruang untuk masukin seluk beluk Lengger dan sisi psikologis dokter Jati. Lia pun keliatannya lebih kuat ngegali ini ketimbang ngebangun thriller, lebih tau cara risetnya juga. Outputnya nggak harus mistis-mistis horor atau sadis-sadis serem juga, malah bisa lebih dalem, kultural, dan filosofis. Di bayangan Dea, visual artistik Yongki Ongestu pun bisa semakin bermakna karena dihidangin di wadah yang lebih “mahal”. Tapi ini pendapat pribadi Dea yang awam banget soal film dan industrinya, jadi belum tentu tepat juga. Mungkin ada banyak pertimbangan yang Dea nggak ngerti di balik keputusan-keputusan ngewujudin “Detak”alias “Tarian Lengger Maut” dengn pilihan-pilihannya.

Kompasiana

Lia cerita banyak tentang proses penggarapan film ini, gimana Aenigma Picture ngambil langkah berani untuk ngegarap film bioskop pertama mereka, dan gimana mereka ngejalin persahabatan dengan warga Purwokerto yang diajak terlibat langsung di seluruh pembuatan film. Film ini juga ngusung kampanye "zero waste" karena sadar banget lokasi syuting seringkali kotor kalau kru nggak aware. Tim kerjanya kayaknya asik, etosnya bagus, dan attitude-nya terpuji.

“Detak” sendiri dapet banyak penghargaan di berbagai festival. Menurut Dea layak banget, terutama karena sinematografinya yang extraordinary. Film ini adalah langkah pertama yang langsung besar dan hasilnya jelas nggak mengecewakan. Jadi, selamat untuk seluruh kerabat kerja. Dea tunggu karya berikutnya :D

Si Dea yang malah senang karena filmnya ga serem.

Selama sekitar lima belas taun Dea bertemen baik sama Lia. Pertemanan kami berlangsung panjang justru karena nggak ada yang clingy dan demanding. Selama ini, mereka yang nggak ngiket justru bisa bersahabat lama sama Dea.

Meskipun nggak intens ketemu, kami nyaman nunjukin bagian paling nggak charming dari diri masing-masing. Kami yang punya minat  kurang lebih sama bisa bicara dalem tentang apa pun. Kami sama-sama suka jalan kaki dan main sama macem-macem jenis manusia. Kami pun nggak sungkan saling ngehubungin tanpa juntrungan ketika salah satunya lagi dalam kondisi terbusuk.

Tapi Lia punya sesuatu yang Dea nggak pernah punya: keberanian yang selalu bikin dia bisa melesat jauh sekali.

Lia berani ngejelajahin tempat-tempat asing sendirian, nyoba hal-hal baru yang dia bahkan belum bisa itung risikonya, dan nunjukin tekad untuk naklukin ketika dihadepin sama tantangan-tantangan berat. Hmmm. Dea baru sadar. “Detak” dan “tekad” itu anagram, ya hehe.

Sekali lagi, selamat, ya, Li, how I prooooud of you and your giant steps in everything.


The polar opposites: Solar Sagitarius-Solar Gemini

Selamat Hari Keseimbangan, Temen-temen
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah
Sundea

Komentar