Bagi saya, mimpi itu seperti embun. Di siang yang panas ia adalah uap air yang terperangkap di udara. Ketika suhu turun, uap terbebas dan berkondensasi. Mengembunlah ia di permukaan rumput, daun, atau kaca; menjadi bening yang hening di malam dingin dan pagi buta.
Namun, usia embun tidak panjang. Ketika matahari datang, ia menguap dijemput hangat. Sebentar kemudian embun kembali terperangkap di udara dan hadir diam-diam di keseharian kita yang sibuk.
Mimpi
adalah manifestasi dari pikiran dan pengalaman kita sehari-hari. Ketika kesadaran
kita sedang penuh, ia terperangkap dalam realitas yang menetapkan banyak
batas. Pikiran dan pengalaman menjelma mimpi yang sureal—terbebas dan
berkondensasi—saat kesadaran kita turun seperti suhu udara; entah dalam keadaan
tidur atau sekadar cukup rileks.
Begitu
kesadaran kita kembali, mimpi lekas-lekas menguap. Realitas kembali
memerangkapnya dalam pikiran dan pengalaman yang disekat logika. Mungkin itu
sebabnya kita sering lupa mimpi kita sendiri jika tak segera mencatatnya sesaat
setelah bangun.
Di
edisi ini kita berbagi cerita tentang mimpi. Ada takokak yang membawa Ikan Paus
ke dunia mimpi, ada Neneng yang tetap tidur dan bermimpi meskipun sudah
berusaha terjaga, dan ada obrolan seputar mimpi dengan Evan Jehian, mahasiswa
S2 Psikologi yang merasa akan punya alternate
ending di perjalanan hidupnya.
Jika mimpi seperti embun, menangkap kehadirannya seperti berada di tengah halimun.
Demi
menyentuhnya, kita harus berlomba dengan fajar…
Selamat Hari Keseimbangan
Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea
Komentar