Yanti Suryani Sang Pemantik Nyala Pertama

Namanya Yanti Suryani, guru kelas kecil di sebuah sekolah swasta yang mencintai pekerjaannya sepenuh hati: Mengajar kelas kecil.

Ketika ditanya mengenai kegiatannya sehari-hari, Yanti menjawab, “Kegiatan sehari-harinya main-main aja, Kak, hahahah, main sama temen-temen di sekolah. Tapi karena WFH, jadi main sama temen-temennya cuman bisa cerita-cerita doang dari layar, sedih…”

Namun, obrolan dengan Yanti ini jauh dari “sedih”. Semoga kisahnya dapat menjadi penghangat di hari-hari yang dingin ini… 

 

 

Pertanyaan pertama. Karena salamatahari edisi ini temanya “Kaus Kaki”, apa pendapat kamu tentang kaus kaki? 

Lucu gemes, hangat, menjaga, dan sangat dekat dengan kita. 

Sama kayak kamu dong ihiiiw. Ok. Sekarang kita ngobrol dari awalnya banget. Apa yang bikin kamu memutuskan jadi guru? 

Waaah, kalau yang ini rada panjang, ya, Kak, hahaha. 

Okeh, dikasihhh…hahahaha…  

Awalnya aku tuh guru Sekolah Minggu, Kak, terus tiap kelas di hari Minggu, aku lihat anak-anak banyak yang kayak nggak happy, banyak yang murung. Terus aku kayak ngerasa, lho, kok anak-anak seolah tidak ada di dunia anak-anak yang bebas, ya, yang bergembira, yang lepas. Ini buat hati aku sedih sih, Kak, akhirnya aku coba ngbrol-ngobrol sama anak-anak dan cari tahu.

Ternyata mereka merasa nggak punya semangat dan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Salah satunya karena Senin sampai Jumat harus sekolah dengan sistem yang hanya memasukkan informasi-informasi “pelajaran”, tapi nyatanya mereka tidak belajar sama sekali. Terus aku diminta buat bantuin anak-anak kelas lima belajar matematika di gereja. Aku pikir ini kesempatan buat bisa main sama mereka. 

Wah, asik dong… 

Nah, tapi pas masuk kelas aku kaget, Kak. Anak-anak tegang, ada yang males-malesan, ada juga yang hanya dipaksa orangtuanya, jadi di awal udah pasang tembok buat ngasih tahu kalau dia nggak suka matematika hahahaha. 

Aku bisa bayangin. Terus terus…?

Terus, yang aku lakukan pertama ya cuma duduk ngbrol dan ngajakin main. Mereka heran, tapi happy. Minggu depannya mereka datang lagi dan aku ajakin main lagi dong, ya, hahahahaha. Tapi sambil main tebak-tebakan soal-soal matematika. Ada yang bisa jawab, jadi tambah semangat. Ada juga yang nggak bisa jawab karena emang nggak tahu, tapi jadi semangat pengen tahu biar tetap ikutan main. Akhirnya, setiap soal yang mereka nggak bisa, dijadiin bahan buat dibahas. Awal masuk tuh murid aku cuma lima, Kak, akhirnya jadi dua belas. Lihat mereka tetap menyala itu happy banget. Bukan karena aku merasa mampu mengajari mereka, tapi aku seneng aja lihat setiap anak dapat menjaga minat mereka untuk tetap mencari. Terus aku berdoa dan bilang, “Tuhan aku cuman mau memeluk banyak anak-anak”. Itu awalnya aku memutuskan untuk jadi guru dan resign dari tempat kerja yang dulu. 


Begitu kamu terjun ke dunia pendidikan, ternyata ada banyak hal yang nggak selalu enak, ya, nggak?
 

Hmmmmmm kayanya enak-enak aja, sih, Kak, kalau sama anak-anaknya. Paling pengalaman yang nggak enaknya tuh justru sama orang dewasanya hahahaha, misalnya disuruh memenuhi standar-standar sekolah pada umunya gitu wkwkwkw... 

Hahaha. Okeh. Kalau pengalaman ngajar daring gimana? Ini kan sesuatu yang baru dan cukup banyak jadi bahan pembahasan di antara orangtua murid ya… 

Kalau di sekolah tempat aku ngajar yang sekarang, bersyukur banget orangtua sangat mendukung pembelajaran dan memfasilitasi anak-anaknya dengan sangat baik. Tapi buat sekolah-sekolah yang belum seberuntung ini, nggak tega juga sih, Kak, pernah ngbrol sama ibu-ibu di deket rumah soal sekolah. Dia bilang anak-anak di daerah mereka banyak yang “yang penting ngumpulin tugas”, daripada dimarahin gurunya hahahaha.

Sekolah daring sedihnya paling karena nggak bisa ketemu langsung sama anak-anak. Waktu jadi terasa terbatas. Duuuhhh kangen banget sekolah, Kaaaaaaaaakkk... 

Kalau pengalaman paling manis selama ngajar apa, Yan? 

Banyak banget sih, ya ini Kak, kayak tiap hari manis aja gitu dengan ceritanya masing-masing hahahahah. 

Aku inget cerita kamu pas mau pindah dari sekolah tempat kamu ngajar sebelum ini. Itu manis lho…

Aaaaaahhh iya ini. Hari terakhir ngajar aku pamitan ke anak-anak, terus temen-temen kelas satu bikin surat buat aku. Karena ada beberapa yang nulisnya belum lancar, mereka gambar. Gambarnya lucu-lucu, ada love doang, ada yang gambar aku sama dia.

 

Tulisan-tulisan mereka sederhana, tapi rasanya hangat banget, Kak. Aku inget banget, inti dari surat mereka, semua bilang terima kasih sudah mau ngajarin dan ajak mereka untuk main. Mereka juga minta aku tetap ceria dan bahagia. Daaaannn banyak banget yang nulis, “kenapa pergi nggak ngajar kita lagi?” atau “aku sayang miss Yanti”. Moment ini rasanya haru banget. Semua anak menuliskan surat cintanya untuk aku, dari yang paling diem, sampe yang paling bawel. Dari kelas satu sampai kelas enam. Ini surat cinta terbanyak yang pernah aku dapet seumur hidup hahah. 

Kamu sempet cerita, kamu belajar sesuatu ya dari pengalaman itu. Boleh dibagi, nggak, Yan? 

Aku belajar tentang cinta hari itu, Kak. Nggak banyak yang aku lakukan. Aku hanya berbagi cinta dengan sederhana, berbagi apa yang aku bisa bagikan setiap harinya dengan seapaadanya. Berbagi ruang bercerita, berbagi telinga, dan berbagi peluk untuk setiap anak. Ternyata hal sederhana itu mengubah banyak hal yang nggak pernah disadari.

Hari itu aku tahu banyak cinta dan harapan lahir, menyala dengan sederhana di banyak hati. Aku bersyukur banget bisa jadi teman mereka, bisa jadi bagian cerita mereka bertumbuh. Sampai sekarang beberapa teman masih suka ada yang kirim gambar atau voice note buat aku. Mulai dari cerita giginya udah copot atau cerita baru potong rambut hahaha. Seru deh, Kak, lucu banget cerita-cerita mereka. 

Oh iya. Kamu kan selalu milih ngajar kelas kecil. Apa yang bikin kamu jatuh cinta sama kelas kecil? 

Hari pertama sekolah buat aku penting banget, Kak. Aku inget waktu kecil, sebelum hari pertama sekolah, aku tidur cepet biar besok kerasa dateng lebih cepet. Terus malam-malam kebangun karena mikirnya udah pagi hahahahahah, segitu nggak sabarnya buat sekolah.

Aku berharap anak-anak punya kenangan yang menyenangkan di hari pertama sekolah, yang mungkin bisa jadi awal buat minat mereka untuk mencari tahu. Aku cuman pengen memeluk anak-anak dan jadi bagian dari cerita mereka menemukan mimpinya. 

Baiklah. Pertanyaan terakhir. Di idup kamu, apa hal kecil yang kemudian ngebawa pengaruh besar? 

Buat aku sebenernya nggak ada hal kecil. Aku selalu merasa semua hal itu sederhana, sangat dekat, dan ada di dalam kita. 

Hmmm. Kayak kaus kaki juga ya. Sederhana, dekat, dan ada “di dalam sepatu” hihi… 

Makanya aku senang banget sama semua hal yang sering dianggap “kecil”. Dan aku mau tetap jadi “kecil” saja, Kak. 


Setelah mengobrol dengan Yanti, saya sadar pentingnya pengalaman pertama belajar. Saya teringat kepada Pak Hendro, guru menggambar saya ketika TK. Karena Pak Hendro, saya tak pernah takut menggambar meskipun tidak tumbuh menjadi ilustrator atau pelukis. Saya juga teringat kepada Bu Rosa, wali kelas pertama saya ketika TK. Banyak hal yang hari ini berani saya lakukan karena Bu Rosa percaya kepada saya si anak TK yang tengil. Sebaliknya, banyak hal yang akhirnya menjadi momok panjang untuk saya karena “pengalaman belajar pertama”.

Kita mungkin luput memperhatikan, betapa pentingnya kelas kecil dan “pengalaman belajar pertama”. Ternyata di sanalah  fondasi untuk perjalanan panjang manusia ditentukan.

“Aku berharap anak-anak punya kenangan yang menyenangkan di hari pertama sekolah, yang mungkin bisa jadi awal buat minat mereka untuk mencari tahu,” kata Yanti.

Di masa yang akan datang, apa yang ditabur Yanti akan dituai oleh sebuah generasi…

Untuk kenal lebih akrab dengan Yanti, kunjungi tulisan-tulisannya di:

 https://lostfoundwriter.wordpress.com/

 

 

Komentar