Obrolan dengan Ikan Paus: House dan Lapar Music dan Logika Orkestra


Beberapa waktu terakhir, Ikan Paus sedang seru-serunya belajar Electronic Dance Music (EDM). Hasil eksperimen pertamanya, aransemen “God Rest Ye Merry Gentlemen”, diisi dengan solo klarinet dan vokal istri.

Karena tema salamatahari edisi ini adalah “rumah”, musik bergenre #housedanlaparmusic yang digarap di rumah sepertinya cocok juga untuk dibahas.

Berikut oborlan si istri dengan Ikan Paus. Ternyata jadi serius, tapi lumayan informatif dan insightful. 

Di akhir-akhir 2020 ini, kok kamu bisa tiba-tiba kepikir belajar EDM? 

Sebenernya nggak kepikir, sih, cuma karena belakangan banyak kerjaan mixing, aku jadi cari-cari plug in buat ngebantu kerjaan mixing ini. Terus dari situ ketemulah satu paket plug in yang awalnya aku ambil cuma buat nganalisa. Ternyata di situ banyak efek-efek dan ada synthesizer-nya. Sebenernya awalnya aku bikin EDM untuk nyobain synthesizer-nya aja.  

Ternyata seru, ya? 

Iya, soalnya suara yang dihasilin dari synthesizer bisa dibilang unlimited. Beda sama alat musik akustik. Kalau alat musik akustik warna suaranya cenderung satu jenis untuk satu jenis alat musik. Kelebihannya, karena dikontrol langsung sama manusia, warna suara yang satu jenis itu bisa dieksploitasi secara maksimal. 

Wadaw, eksploitasi amat ya… 

Bener eksploitasi. Eksploitasi kan artinya kita tau batesnya dan apa yang kita pake itu kita manfaatin sampe bates maksimalnya. Nah. Kalau synthesizer kita eksplorasi karena kita belum tau batesnya. Di situ serunya.

Eh, tapi kata kamu waktu itu bikin musik EDM logikanya sama sama ngaransemen orkestra. Di mana samanya? 

Orkestra, kalau di dunia akustik, sebetulnya salah satu palet suara paling kaya. Karena aku biasa di orkestra, aku udah biasa pakai macem-macem warna suara juga dan dimaksimalin. Di orkestra logikanya beberapa alat musik bisa disatuin untuk jadi satu alat musik yang lain.

Contoh, kita butuh suara terompet, tapi nadanya nggak masuk akal untuk dimainin sama pemain terompet. Triknya, kita bisa ngeganti nada yang sama dengan perpaduan oboe dan klarinet.  Hasilnya adalah suara yang keterompetterompetan, tapi bisa sampe ke range yang menurut pemain terompet terlalu melelahkan. Synthesizer juga gitu cara kerjanya. Main-main sama warna suara, nyampur-nyampur warna, tapi palet warna suaranya jauh lebih banyak daripada orkestra. 

Kalau band emang nggak main-main sama warna suara juga?  

Kalau band logika dasarnya bukan memadukan tapi justru nonjolin. Orkestra mixing-nya harus nge-blend banget, kalau bisa harus sampai kita nggak bisa denger itu alat apa karena semua jadi satu. Di band nggak gitu, justru masing-masing alat musik harus mandiri. 

Tapi, di komposisi eksperimen pertama, kamu masih pake klarinet dan aku masih nyanyi. Otomatis itu nggak nge-blend sama Si EDM. Suara kita harus mandiri.  

Synthesizer itu semua bunyinya elektronik, semua bunyi dibikin secara matematis. Warna suaranya sebenernya nggak ada batesnya, bisa diapain aja, tapi musik elektronik nggak ada ekspresinya karena mesin. Alat musik akustik dan kamu nyanyi untuk nge-back-up kenggakadaan ekspresi itu. 

“God Rest Ye Merry Gentlemen” itu kan eksperimen EDM pertama kamu. Apa pengalaman baru yang kamu dapet dari bikin begituan?  

Dalam memainkan alat musiknya, nggak ada kendala teknis. Kalau di synthesizer ada yang disebut arpegiator (si alat bisa main secepet apapun dengan loncatan-loncatan yang nggak masuk akal di alat musik akustik). Efek bahkan bukan sebagai asesoris, tapi bagian dari komposisi. Echo aja bisa dibikin sesuai metronom, jadi kita bisa bikin efek ritmis pakai echo. Itu yang di dunia live kayaknya susah banget. Sebenernya lucu lho… 

Apanya tuh yang lucu? (Bersiap-siap menangkap kelucuan receh dengan exicited) 

Jadi dulu EDM kan sempet dimainin sama orang-orang yang nggak terakses sama alat musik tradisional. Jadi, misal orang nggak bisa beli drum set, ya pakai electronic drum machine, keyboard satu. Nah. Lucunya, aku tuh sebenernya terakses sama alat-alat musik tradisional.

Yah, kirain kamu mau cerita lucu apaan. Tapi sebenernya kenapa sih kamu yang terakses sama alat musik tradisional malah repot-repot mainan EDM?

Karena ternyata dunia EDM udah begitu jauh dan malah udah melewati semua yang tradisional ini. Jadi warna suara yang tersedia bukan cuma untuk ngegantiin alat tradisional, bahkan genre elektronik ini udah jadi mainstream sekarang. 

Musik EDM yang kamu buat ada bedanya nggak sama musik EDM yang lain? 

Belum tau, kan masih eksplor. 

Tapi kamu setuju nggak kalau musik kamu aku kasih genre sendiri, “House dan Lapar Music?” 

…. 

Jadi gimana? Setuju nggak….? 

Hahaha. Ya udahlah, itu gimana kamu aja. 

Karena sudah tengah malam, kami memutuskan untuk menyudahi percakapan kami. Sudah lumayanlah ya infonya. Kami pun berfoto dengan kamera laptop di tengah pencahayaan seadanya dalam studio Ikan Paus. Karena kami terlalu malas untuk berpose dan setting-setting lagi, hasilnya asal-asalan sekali.

"Udah gelap, banyak noise-nya, lagi. Dibenerin dululah di photoshop. Terus kamu ekspresinya nggak baleg banget hahaha,” komentar Ikan Paus. “Entar aku benerin deh, foto lagi mah udah males,” sahut Dea.

Karena terlalu malas, Dea cuma menggunakan filter seadanya. Sekali cekres, hilanglah noise dan gigi-gigi Dea yang kelihatan besar mendominasi. Kegelapan pun jadi terlihat agak-agak artistik Tulisan "Teh Kotak” di baju Ikan Paus jadi menonjol melebihi gigi Dea. Tapi mengigat teh adalah minuman, sesuai temalah ya, “House Music”. “House dan Lapar Music”. 

Itu hasilnya fotonya, di bagian paling atas artikel ini.

Teman-teman, ini dia hasil eksperimen pertama Si Ikan Paus, “God Rest Ye Merry Gentlemen”, salah satu lagu Natal tertua di dunia yang dibikin menjadi begitu terkini di dunia…


 

Komentar