Sapura

“Lihat, Bu, ada bunga sapura!” seru Anak Beruang.

“Tidak ada bunga sakura di hutan kita. Kita tidak tinggal di Jepang,” tanggap Ibu Beruang sambil mengambili jemuran.

“Sapura, Bu, bukan sakura,” koreksi Anak Beruang.

“Apa lagi itu. Bunga sapura bahkan tidak ada di manapun juga,” kata Ibu Beruang sambil meraih jemuran terakhir.


Ibu Beruang segera masuk ke rumah. Ia tak ingin membuang waktu karena masih banyak yang harus ia kerjakan. Ia sama sekali tak berusaha mencari tahu apa yang dilihat Anak Beruang. Ia yakin bunga sapura tak pernah ada. Anaknya adalah beruang kecil yang terlalu suka bermain-main. Ibu Beruang berharap, kelak anaknya mengerti bahwa hidup harus dijalani dengan sangkil dan mangkus.

Sementara itu Anak Beruang berpikir lain. Baginya, hidup diuntai dari hal-hal kecil yang menakjubkan. Ia senang mencari butir-butir kecil dalam perjalanannya, merangkainya sebagai ingatan, kemudian membagikan kilaunya kepada siapa saja.

Anak Beruang mengamati bunga-bunga sapura yang berguguran menyongsong tanah. Kelopaknya merah jambu dengan bulu-bulu halus yang perlahan-lahan menyapu langit kelabu. Sepertinya mereka jatuh dari pohon yang begitu tinggi, sampai Anak Beruang tak bisa melihat pucuknya.

“Kami adalah sapu jagat…” desau kelopak bunga sapura yang berguguran.

“Apa itu sapu jagat?” tanya Anak Beruang.

“Sapu yang tugasnya membersihkan seluruh jagat. Seperti rumahmu yang disapu Ibu Beruang setiap pagi dan sore, jagat pun perlu dibersihkan secara berkala. Kamu juga Anak Beruang, kamu juga harus dibersihkan.”

“Aku?” tanya Anak Beruang kaget.

“Iya. Seluruh diri kamu adalah jagat kecil yang dipeluk jagat besar.”

Anak Beruang memejamkan matanya karena ia selalu dapat melihat lebih banyak ketika terpejam. Tampak olehnya untaian hal-hal kecil yang berkialauan indah dalam ingatan, berikut serpih-serpih di sekitarnya. Ia sadar, menguntai adalah suatu prakarya. Hal-hal kecil yang ditemukannya tidak begitu saja ia jadikan perhiasan. Ada proses memilah dan mengasah, menggunting dan menempel, sehingga ada saja sisa-sisa prakarya yang berserakan di sekitarnya.

Bunga-bunga sapura—para sapu jagat—datang membersihkan segala sisa, membuangnya ke jagat besar, karena setiap sisa kisah dapat didaur ulang, lebur, tumbuh dengan kehidupan yang lain, kemudian dirangkai lagi menjadi perhiasan baru.

Anak Beruang kembali membuka matanya. Menghela nafas dalam-dalam penuh kelegaan. Ketika ia tengadah, langit sore tampak cerah. Bunga-bunga sapura berserakan di bawah kakinya, menunggu angin dan kebijaksanaan alam menyapu mereka entah ke mana nanti.

Anak Beruang berlari-lari kecil masuk ke rumah. Meskipun tahu ibunya pasti tak menanggapi, ia tetap bercerita, “Ibu, ternyata bunga sapura itu sapu jagat. Aku ikut disapu karena aku ini jagat kecil. Asyik sekali ya, Bu?”

Ibu Beruang memang tidak menanggapi. Ia yakin bunga sapura tak pernah ada. Anaknya adalah beruang kecil yang terlalu suka bermain-main. Ibu Beruang berharap, kelak anaknya mengerti bahwa hidup harus dijalani dengan sangkil dan mangkus.

Sementara itu, Anak Beruang berpikir lain. Baginya, hidup diuntai dari hal-hal kecil yang menakjubkan. Ia senang mencari butir-butir kecil dalam perjalanannya, merangkainya sebagai ingatan, kemudian membagikan kilaunya kepada siapa saja.

Sadar bahwa dirinya jagat kecil yang dipeluk erat jagat besar adalah suatu kebahagiaan baru.

Ia jadi tahu, di dalam dirinya ada bintang-bintang dan matahari. 


Gambar-gambar: Freepik
Musik pengiring: Our story - Walter Mazzaccaro/Pixabay

 


Komentar