Namanya Deden. Ia lahir ketika kedua orangtuanya menemui jalan buntu dalam kehidupan berkeluarga mereka. Maju kena, mundur kena, seperti film Dono.
“Harus kita kasih nama siapa ini anak? Oh, bahkan untuk memberi nama pun sudah buntu aku,” keluh Si Bapak frustrasi.
“Kita kasih nama saja Deden,” usul Si Ibu.
“Kenapa Deden?”
“Karena di Bahasa Inggris, ‘Deden’ artinya ‘jalan buntu’,” ujar Si Ibu dengan tatapan menerawang.
“Bu. Dead end! Dead end yang artinya jalan buntu! Tapi ya sudahlah. Bapak setuju. Kita kasih nama dia Deden”.
Hidup dalam keluarga yang mengalami kebuntuan membuat Deden tumbuh menjadi pemuda yang serba “nggak nyambung”. Yha…mau nyambung ke mana kalau sudah buntu? Tapi kedua orangtua Deden sudah menerima kebuntuan itu dengan lapang dada. Mereka selalu berkata:
“Nak, kita ini harus bersyukur. Semua orang sibuk mencari ‘ujung jalan’, sementara kita sudah sampai di ‘ujung jalan’. Kita bisa memaknai ‘buntu’ sebagai hal yang lain,” ujar Si Bapak dengan bijak.
“Pak, tapi kalau kecoak tiba-tiba bisa silat Bapak percaya, nggak, kalau dia suka makan surabi kinca?” tanya Deden dengan wajah serius.
Si Ibu melirik Si Bapak penuh arti. Anak mereka kan memang selalu “nggak nyambung”. Percuma memang mengajaknya berdialog. Mereka memilih untuk menerima kebuntuan komunikasi itu apa adanya.
Hal yang tidak diketahui kedua orangtuanya, jalan buntu pribadi yang dihadapi Deden adalah ujung jurang yang berhadapan dengan kebahagiaan. Tak ada jembatan menuju bahagia. Deden frustrasi. Ia ingin sampai ke sana.
Sampai pada suatu hari….
Komentar