foto: Tulang Ecen |
Pada suatu hari, waktu nginep di rumah orangtua, Dea sarapan bareng papa. Papa cerita tentang pameran terkini yang baru dia kurasi. Ketika ngebahas siapa-siapa aja yang ikut pameran—beberapa di antaranya temen-temen Dea—papa cerita kalau jumlah seniman perempuannya dikit banget. Tapi ada satu seniman perempuan muda yang ditarik ikutan.
“Karena satu-satunya perempuan, di
whatsapp group dia suka dibecandain. Tapi papa nggak tahan sama bercandaannya. Boys
jokes. Waktu udah keterlaluan, papa cuma kirim sticker ‘STOP’. Abis itu
semua diem. Nggak ada yang berani komentar lagi.”
Dea ngakak denger cerita papa.
Kebayang syoknya seniman-seniman cowok itu pas sticker si papa muncul. Kata
papa, meskipun seniman perempuannya diem aja pas digodain, belum tentu dia
nyaman.
“Nggak banyak yang sadar kalau jokes
boys club gitu punya tendensi ngerendahin perempuan,” kata papa.
“Sekarang mulai banyak yang sadar,
kok, Pa, catcalling mulai sering diangkat jadi isu,” tanggep Dea.
“Oh, sekarang udah ada istilahnya?
Bagus juga. Orang memang perlu dibikin sadar soal ini.”
Setelah obrolan pagi itu, Dea jadi
stop sebentar, nge-review suatu perjalanan panjang pemikiran bersama
papa. Sebenernya papa adalah orang pertama yang ngenalin feminisme ke Dea.
Meskipun biasanya punya banyak teori, untuk hal yang satu ini papa nggak
memulai dengan teori. Kesetaraan gender adalah mindset yang muncul tanpa
effort di keseharian dan cara pandangnya.
Waktu Dea mau masuk TK, adik
perempuan Dea lahir. Dea inget ada seorang ompung (kakek) yang nyuruh papa
nambah anak lagi. “Biar adalah anakmu yang laki-laki,” kata ompung itu. Dea
inget papa ngejawab, “ah nggak usah. Sekarang juga perempuan udah bisa jadi
presiden.” Waktu itu Corazon Aquino baru naik jadi presiden Filipina.
Pas adik Dea dan Dea bayi, telinga
kami nggak ditindik. Menurut papa, kami punya hak atas tubuh kami sendiri.
Kalau kami udah lebih besar dan bisa milih, kamilah yang mutusin mau ditindik
atau enggak. Di kemudian hari adik Dea mutusin untuk nindik telinga, sementara
Dea enggak.
Setelah wacana tentang tubuh
perempuan beredar di mana-mana, Dea baru sadar kalau pilihan yang papa kasih ke
adik dan Dea lebih besar daripada sekadar urusan ditindik atau enggak.
Jauh sebelum pro kontra soal pelakor
meriah, papa udah ngebangun awareness solidaritas perempuan ke Dea.
Jadi, waktu pacar pertama Dea ketauan selingkuh, bukan perempuannya yang Dea
konfront, tapi laki-lakinya.
“Jadi kamu suka sama dia?” Dea
nanya.
“Dia suka sama aku.”
“Aku nggak urusan dia suka apa
enggak sama kamu. Kamunya suka apa enggak?”
Setelah berkelit ke mana-mana,
akhirnya si mantan ngaku selingkuh. Pada saat itu juga, tanpa proses yang
berbelit-belit, si mantan Dea putusin.
Begitu putus, Dea telepon papa. Papa
ngejemput Dea ke Jatinangor, abis itu kami makan bareng. Kami kembali ngebahas
solidaritas perempuan, tapi kali itu dengan sedikit teori. Di situlah Dea ngeh
feminisme sebagai konsep. Perempuan kerap insecure karena posisinya di
masyarakat. Budaya patriarki bikin laki-laki jadi gender superior yang
cenderung lebih kebal kesalahan.
Kami ngebahas gimana laki-laki
kadang “berlindung” untuk kepentingannya sendiri di antara dua perempuan yang berseteru:
perempuan yang jaman sekarang umum disebut “pelakor” dan perempuan yang lebih
dulu jalan sama dia. Dea tau si mantan secara insting sempet berusaha pake trik
ini, tapi nggak berhasil dan bikin Dea justru makin nggak respect sama dia.
“Papa bangga sama Dea,” kata papa.
Sementara itu, sambil makan, Dea
nelusurin pikiran dan perasaan Dea sendiri. Dea nggak marah sama selingkuhan si
mantan. Sebagai perempuan, Dea punya tanggung jawab untuk jadi punggung yang
ngejaga perempuan lain, termasuk ngejaga selingkuhan si mantan. Dea sadar
mantan Dea bukan direbut. Mantan Dea selingkuh karena pilihannya sendiri. Dea
cukup tertegun sama efek yang ditimbulin teladan dan pandangan yang papa
tanemin ke Dea sejak Dea kecil.
Meskipun udah ngebangun rumah tangga,
papa ngingetin kalau perempuan harus tetep punya eksistensi di masyarakat. Papa
nggak cuma ngomong. Sepanjang waktu, prinsip ini dia terapin ke mama. Bahkan,
ketika usia mama udah 50an, papa yang duluan sadar kalau renjana sejati mama
ternyata tari.
Waktu remaja mama sempet aktif nari
bersama Viatikara, tapi berenti karena dilarang ompung, takut dianggep
perempuan “nggak bener” yang "bisa ditunjuk-tunjuk om-om". Papa
ngeyakinin mama kalau mama belum terlambat. Maka, pelan-pelan mama kembali ke
dunia tari yang masih mungkin dia jangkau. Akhirnya, di usia yang udah nggak
muda lagi, mama masih berhasil menang di beberapa kompetisi internasional.
Papa jugalah yang pernah stand up untuk kakaknya ketika kakaknya dilarang opa kursus kecantikan ke Jakarta. Kakak sulung papa—tantenya Dea—cukup sering nyeritain ini dengan haru ke Dea. Buat papa, kalau papa dan adik laki-lakinya boleh milih apa yang mereka mau, kenapa kakaknya enggak cuma karena dia perempuan?
Stop dan nge-review itu semua
bikin Dea sadar. Meskipun bukan tipikal perempuan yang gagah perkasa dan
mandiri-mandiri amat, nilai yang papa tanemin bikin Dea nggak pernah ngerasa
jadi manusia separuh.
Bicara soal catcalling, sejak
remaja Dea berani galak sama cowok yang ngegangguin Dea. Peringatan “Jangan
judes-judes, nanti nggak laku” sama sekali nggak bikin Dea khawatir. Dari dulu
papa bikin Dea yakin kalau Dea bukan barang dagangan yang dipajang di etalase.
Dea punya andil dalam memilih, memperjuangkan siapa yang Dea mau, dan menolak
yang Dea nggak suka. Selain itu, papa pernah ngomong, “Papa yakin anak-anak
papa nggak akan berakhir sama orang yang brengsek, soalnya orientasi kalian itu
papa.” Kedengeran narsis, sih, but he was totally right.
International Women’s Day,
International Father’s Day, dan Hari Kartini udah lewat cukup jauh. Tapi
rangkaian ingatan dan pemahaman yang muncul ketika Dea stop sebentar bikin Dea
kepengen ngerayain hari ini.
Selamat Hari Keseimbangan dan
menyeimbangkan buat semua laki-laki dan perempuan.
Selamat Hari Ayah untuk ayah-ayah
hebat dan anak-anak perempuan mereka.
Buat papa Dea:
Respect and gratitude abundantly
You are rock!!!
foto: Adi Marsiella |
Komentar