Menelusuri Lawangkala: Percakapan Dea dengan Dea

-Selasar Sunaryo, 21 November 2018-

Pameran Lawangkala



“Ini bagian favorit elu?”
“Nggak juga sih, sebenernya gue paling suka bagian yang sebelum ini.”
“Kenapa?”
“Karena di situ, kepala gue pas kalau diselipin di sela-sela bambu. Gue bisa nyandar tanpa effort sambil ngeliatin ruang di dalemnya. Di situ gelap. Tapi cermin bikin semua keliatan lega dan luas. Gue juga bisa ngeliat jalan menuju fase berikutnya. Meskipun nggak tau di sana bakal ada apa.”

Itu adalah percakapan Dea dengan Dea: Sundea dan Dea Aprilia. Siang itu, Dea Aprilia mengantar Sundea dan Ikan Paus menelusuri lorong ruang dan waktu yang dibangun Pak Sunaryo: Lawangkala.

“Kalau lu, apa yang lu sendiri rasain waktu nyusurin karya ini?”
“Hmmm…hampa.”
“Hampa?”
“Tapi bukan hampa yang negatif.”
“Lebih ke kontempelatif berarti, ya?”
“Kayaknya iya. Terus gue di sini suka sama liku-likunya.”

Perjalanan yang tidak terlalu panjang itu merangkum seluruh masa di hidup kita. Saya jadi sadar, di tengah belantara semesta yang tak terbatas ruang dan waktu, mungkin hidup kita memang sesingkat dan sekecil itu.

“Kenapa instalasi ini dibuat dari bambu?”
“Karena bambu sifatnya fana…”

Kita datang dari ketakbertepian, dilingkupi kefanaan, dinaungi bekal usia, dan bermuara pada ketakbertepian. 

Suara seruling bambu yang aman dan tenang membimbing kita menelusuri masa awal hidup kita. Sampai pada satu titik, ketenangan itu berganti dengan suara alam yang riuh. Kita dihadapkan pada dua pilihan: terus berjalan atau keluar melalui jalur yang menganga di mulut bubu.

“Mungkin ini maksudnya, kita punya pilihan untuk bunuh diri.”
“Mungkin juga. Apa lagi ujung jalan belum keliatan kalau dari sini.”
“Tapi sebenernya kita bisa aja berenti di sini terus duduk-duduk aja. Nggak usah keluar lewat lobang itu.”

Saya bersila di tepi sungai-sungaian. Memusatkan pandangan pada terang yang dibingkai mulut bubu. Di sana saya mendapati beberapa batang bambu yang masih terus tumbuh, belum terpisah dari akar, belum menjadi suling atau karya instalasi.

Saya memejamkan mata dan mengindera segala keriuhan yang melingkupi saya. Segala bunyi yang tadinya terdengar bertabrak-tabrakan perlahan terpilah. Saya mengenali bunyi air, bunyi burung, bunyi katak, sampai bunyi-bunyi yang terdengar dari luar lorong waktu Lawangkala.

“Kalau kita duduk di sini, sebenernya kita bisa ngerti idup secara lebih lengkap.”
“Ini mungkin quarter life crisis, ya.”

Kami kembali berjalan, mengikuti lorong yang meliuk sebagai suratan, dan sampai kepada suasana yang terasa lebih terang benderang. Dari balik dinding-dinding bambu yang teranyam rapat, terbentang nuansa putih, bukan lagi hitam seperti pada fase-fase seblumnya.

Kami menjauh dari suara. Tapi dari sana, sayup kami dapat mendengar semua suara yang sudah kami lewati. Secara seimbang.

“Sebenernya ada yang selalu gue pengen tanya ke Pak Naryo, tapi belum sempet-sempet aja.”
“Apa?”
“Itu tonjolan-tonjolan ada maksudnya atau nggak, ya? Atau teknis aja?”



Dea, Dea, dan Ikan Paus mengintip dari celah dinding anyaman. Di sana kami menemukan bambu-bambu yang berceranggah di balik kain putih yang melapisinya. 

Saya terkesiap.

“Kalau lu nggak bilang, gue nggak sadar ada ini.”
“Memang nggak banyak yang tau.”
“Pak Naryo juga nggak bahas bagian ini waktu nganter kita jalan. Padahal bagian-bagian lain dia ceritain.”

“Iya. Maksudnya apa, ya?”

Mungkin. Dalam hidup, kita mengumpulkan luka dan kebijaksanaan. Luka tak selalu harus dimusnahkan hingga tak berjejak. Adakalanya luka perlu diterima keberadaannya dengan kompromi. 

Bambu yang tumpul menunjukkan perdamaian. Ia dibiarkan mencuat tapi tak harus merobek kain putih yang melapisinya. Ia tertutup rapat, tapi tak menjadi bahaya yang mengintai diam-diam. Ia terkendali dengan baik oleh pemahaman dan kedewasaan yang cukup.

Dan pada akhirnya, seorang manusia tahu apa yang harus dipilih agar menjadi tenang dan terang.

“Kok jadi sedih, sih?”
“Iya juga, ya. Nanti kalau lu udah nanya ke Pak Naryo, ceritain ke gue, ya …”

Akhirnya kami sampai di pintu keluar Lawangkala. Saat kami menoleh ke belakang, sayup suara mengingatkan apa-apa saja yang sudah kami lewati. Tetapi jalan yang berliku-liku membuat kami tak dapat melihat pangkal perjalanan kami.

Kita datang dari ketakbertepian, dilingkupi kefanaan, dinaungi bekal usia, dan bermuara pada ketakbertepian.

Hidup adalah perjalanan menyempurnakan lingkaran.



"Lawangkala" adalah tajuk pameran tunggal seniman senior Bapak Sunaryo. Infromasi lengkap mengenai karya instalasi ini dapat dilihat di sini.  

Berikut ini adalah perjalanan menelusuri Lawangkala:

 

Foto dan video: Ikan Paus.

Komentar