Perkara 4 atlet basket Asian Games Jepang
yang tertangkap menyewa PSK, menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Tidak
terkecuali di WAG keluarga saya. Menanggapi ini, kakak sepupu saya yang hidup
di Jepang berkomentar:
Rada susah, sih,
masalah budaya begini. Kita di JP nggak ngelihat prostitusi sebagai sesuatu
yang tercela. Kalo denger cerita-cerita pengalaman atlit di TV, prostitusi tuh
biasa buat mereka waktu bertanding di luar negeri, bahkan di camp mereka ada
tempat penjualan kondom segala.
Tapi keempat atlet Jepang itu tetap
dipulangkan. Pihak Jepang tetap mengaku malu dan meminta maaf yang
sebesar-besarnya karena merasa gagal mendidik.
Ketika membaca bagaimana industri
seks berkembang bersama sejarah dan budaya di Jepang, saya memahami maksud
sepupu saya. Seks di luar pernikahan tidak dilihat sebagai sesuatu yang tabu.
Sejak era Heian (abad ke-8 Masehi)
ketika perempuan masih boleh menjadi kaisar di Jepang, hingga masuk zaman Edo
(1603-1868) saat laki-laki menjadi sangat dominan, bahkan setelah hukum
Anti-Prostitusi tahun 1956 dikeluarkan, budaya meninggalkan akar yang tak dapat
dicegah untuk tumbuh lagi dan lagi dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Tulisan-tulisan mengenai Geisha
dan Oiran yang saya baca
memberi gambaran mengenai citra perempuan penghibur di Jepang. Lepas dari cocok
atau tidaknya dengan budaya Indonesia, mereka mempunyai kacamata yang sama
sekali berbeda dengan kita.
Saya jadi merenung-renung sendiri. Di
luar komentar-komentar mengenai berbagai aturan, atribut Asian Games yang masih
dikenakan oleh para atlet, sampai masalah moral, saya menduga-duga sendiri. Mungkin ini soal ‘aturan bertamu’ aja,
sih.
Setiap budaya mempunyai tolok ukur kesantunan dan adat istiadatnya sendiri. Sebagai blasteran Batak asli dan Cina dengan didikan Belanda, saya tumbuh dengan kontras budaya yang cukup
menarik. Masing-masing keluarga mempunyai sudut pandangnya.
Di keluarga Batak saya, Ompung
mengajarkan untuk tidak sungkan. Ketika bertamu, anggaplah kita datang ke rumah
sendiri. Menurut Ompung, itu menunjukkan keakraban yang membuat tuan rumah
merasa hangat. Jadi jangan heran jika ada tamu yang langsung membongkar kulkas
mencari makanan begitu sampai di rumah Ompung atau Ompung dengan ringan
menyuruh tamu memasak makanan kesukaannya tanpa basa-basi. Ini tidak hanya
terjadi kepada tamu-tamu yang sudah sering main ke rumah, lho.
Sementara keluarga Cina saya
mempunyai ukuran tata krama yang kontras. Ketika bertamu, jangan sampai kita
melanggar batas-batas personal tuan rumah. Tetapi sebaliknya,
ketika kedatangan tamu, ada servis-servis yang perlu kita berikan agar tanpa
harus meminta tamu merasa cukup nyaman. Ada berbagai manner yang perlu ditaati agar kita tidak rentan bersinggungan
dengan orang lain. Banyak yang cukup baik dan masih saya anut sampai hari ini.
Perpaduan budaya Batak asli dan Cina
dengan didikan Belanda ini juga menciptakan ukuran tata krama yang agak aneh di
hidup saya. Kadang jadi awkward dan
membuat saya bingung menetapkan standar. Tapi ini juga yang membuat saya belajar
berlapang hati memahami beragam latar belakang dan mau tidak mau, akhir-akhir
ini, mulai berlatih asertif jika ada kebiasaan orang lain yang mengganggu saya.
Etika bertamu adalah menyesuaikan
diri dengan tata krama yang berlaku di lingkungan setempat. Karena bukan budaya
sendiri, kadang ada-ada saja kecerobohan dan salah langkah yang terjadi; Mungkin
seperti yang dialami keempat atlet Jepang tersebut. Tetapi jika itu sampai terjadi
dan kita menyadarinya, cukup meminta maaf dengan hati tulus dan tetap
menunjukkan hormat kepada tuan rumah. Niat di hati tetapi menjadi bagian yang paling penting, kok.
Pernah mendengar pertanyaan “Nggak
diajar sopan santun, ya?!”
Permasalahannya adalah … sopan santun
menurut ukuran siapa?
Komentar