itu kartu bikinan Jia :D |
“Nyobain tol baru, yuk, nginep di
Ciwidey,” ajak Ikan Paus.
“Kapan?” tanya Dea.
“Hari ini…”
“Hah? Impulsif amat. Hayuk…”
Bagaikan tahu bulat yang “digoreng di
mobil dadakan”, rencana yang “gurih-gurih enyoi” itu pun dijalanin. Hal tiba-tiba
begini cukup sering terjadi dalam rumah tangga kami, pasangan unsur angin (-anginan) Libra-Gemini.
Setelah nganter Dea ngeberesin
sedikit kerjaan sama Jia Effendie, Ikan Paus dan Dea langsung cabut ke daerah Malabar Pangalengan. Tadinya kami sempet ngajak mama-papa Ikan Paus ikut. Tapi karena
pas ditanya ini-itu jawaban kami adalah “gimana entar”, mereka mutusin nggak
ikut aja. Jadi mungkin kami bakal ngajak
mereka lain kali aja dalam episode jalan-jalan yang lebih terencana :p
Kalau lewat tol, ternyata dari
Pasteur ke Soreang cuma makan waktu 10-15 menitan. Tarifnya kira-kira sepuluh
ribuan. Kami senang. Soalnya kami kira perjalanan kami bakalan lebih lama
daripada itu :D
Bandung Selatan di
Waktu Malam
Setelah keluar tol Soroja, kami ke
Malabar lewat Gunung Puntang. Kira-kira 1,5 jam kemudian kami sampe di hotel
melati langganan kami yang namanya:
Ini hotel favorit Ikan Paus dan Dea. Kalau dari arah Bandung, letaknya di sebelah kiri jalan. Tempatnya agak di atas, pas daerahnya udah rada sepi, di depan rumah makan yang kalo nggak salah namanya "Sate Paris".
Soundtrack
yang paling pas ngegambarin suasana hotel ini adalah “Bandung Selatan di Waktu
Malam”. Klasik, tenang, bersahaja, dan adem. Pelayannya juga baik-baik.
Maafkan isi kamarnya malah lupa difoto :p |
Harga kamar yang standard Rp 270.000,00
semalem. Double bed dan selimutnya
tebel. Kakusnya kakus duduk. Di kamar mandinya ada air panas, shampo, sabun, dan dipinjemin handuk
dua lembar. Ada teh, kopi, dan air panas di termos. Paginya dikasih sarapan.
Nasi kuning sama teh panas.
Meskipun di sana sepi, sebenernya
kita nggak susah nyari apa-apa. Persis di seberang hotel, di sebelah Sate Paris, ada warung yang
kayaknya buka 24 jam. Lumayan lengkap, lagi. Pampers orang tua aja di sana ada.
Yang lebih canggih lagi, nggak jauh dari hotel ada kios ponsel dan elektronik yang masih buka sampe
kira-kira jam 10 malem. Pas Ikan Paus butuh terminal buat nge-charge kamera,
punya lho dia. Sayangnya tokonya nggak kami foto karena batere kameranya pas abis. Nanti deh kapan-kapan kalau
kami ke sana lagi.
Perkebunan Teh Malabar
Kami bangun sekitar jam 7 pagi, ngopi, sarapan, mandi, terus ngelanjutin perjalanan ke Perkebunan Teh Malabar.
Udah nggak terlalu jauh dari hotel kami yang namanya Hotel tadi.
Dea baru bangun dan mau minum kopi. Mukanya masih teler. |
Perkebunan teh ini rapi dan terawat
banget. Etos kerja orang-orangnya cukup bagus, hasil didikan turun temurun dari
salah satu preanger planter paling
hits pada zamannya: K.A.R Boscha.
Pohon kayak brokoli raksasa |
Boscha masih dihormatin banget di
daerah sini. Rumah dan makamnya juga ada dan masih terpelihara baik. Tapi
kemaren itu kami nggak main ke sana. Selain udah pernah, kami nggak terlalu
punya banyak waktu hari itu.
Di tengah-tengah perkebunan ada
menara. Kalau naik ke situ, kita bisa ngamatin seluruh perkebunan teh. Bagus,
deh. Kayak gini kira-kira:
Anginnya sejuk, jadi bawa jaket. Bawa bekal sama termos minuman panas sambil duduk-duduk di situ juga enakeun. Suasananya cukup kontempelatif.
Sediain uang lima ribu per orang, ya.
Pas kita naik memang nggak ada tanda apa-apa. Tapi pas kita turun bakal ada
bapak-bapak yang nagih uang kebersihan. Goceng per orang.
Penangkaran Rusa
Kertamanah
Di deket Perkebunan Teh Malabar, ada
Penangkaran Rusa Kertamanah. Abis liat-liat kebun teh kami mampir di situ.
Kalau yang ini masuknya gratis katanya. Cuma ternyata pas kami dateng yang
jaganya lagi nggak ada.
Karena Ikan Paus dan Dea iseng-iseng
berhadiah aja, kami cukup senang main-main sama rusa dari luar kandang. Di sana
kita bisa beli wortel tiga rebu sekresek untuk dikasihin ke rusanya.
Kegiatan eksperimental ini ada videonya di sini. |
Kata Ibu yang jual wortel dan makanan-makanan
ringan, ada hutan pinus juga di sekitar situ. Biasanya acara main ke
Penangkaran Rusa Kertamanah sepaket sama jalan-jalan ke hutan pinus. Cuma Ikan
Paus dan Dea nggak mampir ke hutan pinusnya hari itu.
Kampung Kopi Malabar
Terakhir, kami mampir ke Kampung Kopi
Malabar. Belakangan ini kopi dari daerah sana mulai naik daun.
Keliatannya tempat ini well-managed dan bakal dijadiin wilayah industri
kopi yang serius. Taneman teh mulai diganti sama kopi. Ada juga yang tumpang
sari. Terus di sana ada Unit Pengolahan Kopi Malabar. Karena butuh waktu yang
lebih lama untuk jalan-jalan di perkebunan kopinya, kami mutusin untuk nggak
keliling dulu di sana. Mungkin lain kali.
Di Kampung Kopi ada kafe yang digarap
lumayan serius. Namanya Malabar. Kayaknya sih ini tempat nongkrong orang-orang
yang suka naik sepeda karena banyak gambar orang sepedaan di luarnya.
Kopi mereka Arabica. Mereka juga
piara luwak untuk produksi kopi. Kami nggak minum kopi di sana, tapi kami beli
kopinya satu sachet untuk nyobain bersama di rumah. Satu sachet harganya Rp 8000,00 (kami beli yang ini).
Kalau kopi luwaknya satu sachet harganya Rp 25.000,00.
Luwaknya gemas |
Terus … udah, deh. Kami pulang ke
Bandung dan kembali kepada kenyataan. Libur anak-anak sekolah masih berlangsung jadi
Bandung lagi macet-macetnya.
Meskipun Bandung-Malabar nggak jauh,
terutama setelah ada tol Soroja, main ke sana rasanya kayak pergi jauh ke
manaaa gitu. Lumayan untuk liburan singkat kalau kita butuh refreshing sebentar.
Dea bakal nutup posting ini dengan sepotong
lirik “Bandung Selatan di Waktu Malam” yang cocok banget jadi soundtrack kami
minggu lalu.
Tamasya indah penuh
kenangan
Riwayatnya tiada
terlupakan…
Ya udah, segini dulu, ya, Temen-temen...
Salamatahari, semogaselaluhangat dan
cerah…
Komentar
Ada kosan gak ya di deket kebun teh 😁