Nagayam


 
Sambil makan siang, Ikan Paus dan Dea ngobrol-ngobrol random. Entah dari mana mulainya, tiba-tiba kami jadi ngebahas naga.

“Di Cina naga itu nggak antagonis, ya. Dia justru dianggep lambang kebijaksanaan dan kekuatan,” kata Dea.
“Iya.  Kalau naga di cerita Eropa, yang diperangin pangeran-pangeran, pada prinsipnya dinosaurus dikasih sayap. Sementara di Cina pada prinsipnya naga itu ular dikasih kaki. Binatang dasarnya juga beda.”


Kata Ikan Paus, legenda naga mungkin berkembang ketika orang nemuin tulang-tulang dinosaurus. Tiap tempat punya interpretasi naganya sendiri-sendiri.   

Indonesia juga punya mitos naga. Naga Jawa. Bentuknya mirip naga Cina, tapi nggak ada kakinya dan pakai mahkota. Seperti di Cina, Naga Jawa dipercaya sebagai pelindung yang bijaksana. Makanya figurnya kerap diukir di gerbang,  pintu, tangga, dan ancak gong. Gong adalah alat musik sakral. Kata Pak Nanang, penjaga Gamelan Mbah Bandong di Banjaran, rangkaian gamelan ngerepresentasiin tatanan kehidupan. Gong yang bunyinya ‘Guuung’ menggambarkan Yang Agung alias Sang Pencipta.

gambar dipinjam dari sini
 
Hari ini Dea jadi seru sendiri baca-baca tentang naga. Kapan-kapan kalau udah disusun dengan bener Dea cerita yang lebih lengkap, ya… kalau nggak lupa.

Baiklah. Kita kembali lagi ke obrolan random suami-istri Libra-Gemini ini kemaren siang.

“Temen aku banyak yang shio naga, lho,” kata Dea.
“Mereka jadi orang sukses, nggak?” tanya Ikan Paus.
“Ummmh … sukses itu ukurannya apa?”
“Katanya orang-orang shio naga hokinya besar. Dengan usaha sedikit aja mereka bisa berhasil. Beda sama kita yang shio ayam. Kita baru bisa berhasil kalau bener-bener kerja keras.”

Dea langsung melotot-melotot horor.
“Kenapa?” tanya Ikan Paus.
“Kalau udah ayam terus pemales kayak aku gimana?” tanya Dea, masih sambil melotot-melotot horor.
“Hahaha … ya udah nggak ada harepan.”
“Keliatannya shio ayam ada jenis-jenisnya. Kamu masih shio ayam kampung. Aku shio ayam broiler. Pada akhirnya aku hanyalah purna bakti sebagai ayam geprek. Di deket rumah kita harganya 9500 per potong. Itu pun nggak eksklusif. Masih bersama nasi dan tempe-tahu,” abis itu  Dea natap nelangsa ke piring nasi di hadapan.

Ikan Paus ketawa-ketawa, sementara Dea sebetulnya sedih, tapi pengen ketawa juga. Gimana, sih? Dasar Gemini nggak jelas.

Dea ngebayangin diri Dea jadi ayam broiler yang dibawa pake truk di kandang sempit dan ngeliat dunia lewat sela-sela kandang, desek-desekan sama temen-temen shio ayam broiler lainnya. Abis itu Dea berakhir di restoran-restoran yang jual ayamnya massal.
“Yah…seenggaknya aku bikin orang yang lagi bokek tetep bisa makan ayam. Masih ada gunanya buat kemaslahatan umat,” kata Dea dengan nrimo dan legowo.

Sebenernya ini kan tragis, ya. Tapi tragedi dan komedi pada dasarnya sama aja, yang ngebedain cuma sudut pandangnya.

Sebenernya Dea mau nulis apa sih ini? Gara-gara ini hari Kamis, wajib menjaga komitmen posting blog, dan Dea lagi kurang ide, beginilah jadinya.

Selamat Hari Keseimbangan, Teman-teman. Semoga caprukan ini tetep ada faedahnya…

Komentar