Rampai

“A, di sini ada kapulaga?”
“Nggak ada, Teh, adanya di tukang rampai …”

Rampai. Entah mengapa, pagi itu kata tersebut tiba-tiba terdengar segar di telinga saya. Rampai adalah campuran, kumpulan, assorted.

Ketika kuliah di Sastra Indonesia, saya berkenalan dengan istilah “bunga rampai” alias kumpulan tulisan-tulisan pendek yang dibundel menjadi satu. Namun, bunga rampai yang muncul di pikiran saya bukan bunga rampai yang itu.


Sambil meninggalkan penjual bumbu dapur dan mencari penjual rampai, kelopak bunga warna-warni bertaburan di memori saya. Saya ingat apa yang diindera telapak tangan saya ketika meraupnya. Halus, lembut, dan ringkih. Saya juga ingat harum yang diindera penciuman saya saat dikelilingi bunga rampai. Harum toleransi. Beraneka aroma baur tanpa berusaha saling menguasai.

Ketika mendapati ibu penjual rampai, saya langsung berhenti.

“Kapulaga ada, Bu? Sama kayu manis, jahe, tambah cengkih deh…”
“Ada,” sahut ibu penjual rampai sambil menjumput beberapa plastik kecil.

Saya menoleh ke arah setampah bunga rampai yang ada di sebelah si ibu. Entah mengapa, harumnya tidak merebak seperti yang saya bayangkan. Mungkin jumlahnya terlalu sedikit. Atau aromanya diterkam oleh amis darah ayam dan amis ikan yang sengit dan berani menguasai pasar. Saya tidak tahu persis.



“Ini, Neng, tujuh ribu,” kata ibu penjual bunga rampai sambil menyerahkan permintaan saya.
“Oh, iya. Makasih, Bu.”

Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, saya menenteng bahan-bahan yang saya beli.

Selain membawa kapulaga dan kawan-kawannya, ingatan saya membawa pulang bunga-bunga di dalam tampah.

Meskipun baunya tak tercium dan sudah dicerabut dari kehidupan, kelopak-kelopak bunga itu masih memesona. Warnanya masih cemerlang: ungu buah naga. Kuning. Putih. Pastel.

Saat masih menjadi bagian dari bunga yang hidup, mereka berfungsi membalut dan melindungi mahkota bunga. Ketika sudah dicabut dari tubuh bunga, rampaian kelopak ditabur di atas pusara sebagai tanda perpisahan kepada kehidupan.

RIP Stephen Hawking 8 Januari 1942 – 14 Maret 2018

Ketika mendengar kabar kepergiannnya, entah mengapa justru tulisan ini yang ingin saya tulis. 



Terlalu banyak kata “entah mengapa” dalam artikel ini dan keluasan semesta.

Komentar