Pipin dan Buyung di Kehidupan Sebelumnya


foto dipinjam dari tempo.co

Di kehidupan sebelumnya, Pipin dan Buyung sudah berjodoh. Ketika itu Pipin bernama Maya dan Buyung bernama Surya. Tidak seperti dalam “Kenapa Harus Bule?”, kehidupan mereka jauh dari hip-hip hura. Mereka tidak bergelimang kemewahan dan memadu kasih di tengah nuansa eksotis Pulau Dewata. Maya dan Surya adalah pasangan suami-istri biasa yang berdenyut bersama jantung ibu kota.
 Di kehidupan sebelumnya, Pipin bukan perempuan kenes dengan dandanan warna-warni. Ia adalah Maya yang selalu tampil pucat tanpa riasan dan berjalan terbatuk-batuk ke Ruang Carlo di Rumah Sakit Santo Carolus. Saya adalah penonton skenario kehidupan. Karena ingin tahu ada apa dengan Maya, saya mengikuti langkah-langkahnya.

Di Ruang Carlo saya bertemu dengan banyak wajah lain. Saya terkesan kepada Suster Fransiska, biarawati yang menyejukkan hati. Sekilas saya menangkap bocah kecil yang duduk di kursi roda dan remaja bergajulan bersama ibunya. Ada dokter muda keren bernama Dokter Jenny. Ada pemuda homofobia dan seorang konselor yang sangat simpatik. Ada persahabatan dua waria. Begitu banyak cerita yang menarik perhatian saya di Ruang Carlo. Saya lantas menuturi cerita mereka satu persatu.
 Ternyata Ruang Carlo—“Kisah Carlo”—menanggung drama-drama seputar HIV/AIDS. Setiap orang mempunyai ceritanya sendiri-sendiri. Maya—Pipin di kehidupan sebelumnya—adalah ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami terdahulunya yang sudah meninggal. Maya merasa hancur. Ia tak ingin menyakiti Surya—Buyung di kehidupan sebelumnya—suaminya saat itu yang sudah begitu baik dan menyayanginya. Kendati begitu, setelah menjalani tes, ternyata Surya pun terinfeksi HIV. Ada perjuangan batin yang harus mereka hadapi untuk menerima kenyataan tersebut.
“Kisah Carlo” adalah sejenis iklan layanan masyarakat yang digarap baik, mengangkat cerita-cerita nyata pasien-pasien Ruang Carlo dan bagaimana mereka berdamai dengan keadaan. Informasi seputar HIV/AIDS juga terpaparkan dengan sangat jelas di sana.
HIV/AIDS bukan vonis mati. Jika ditangani dengan tepat, mereka yang terinfeksi HIV dapat hidup baik-baik saja. Penularannya pun tidak sembarangan sehingga tak perlu khawatir bergaul akrab, bersentuhan, berbagi makanan dan minuman, bahkan menikah dengan mereka yang terinfeksi HIV. Obatnya—ARV—disubsidi pemerintah dan dapat diperoleh secara gratis.
Ketika pasien untuk pertama kali mengetahui dirinya terinfeksi HIV, selalu ada kekhawatiran. Pertanyaan-pertanyaan manusiawi berkelebat. Bagaimana memberitahukan berita itu kepada keluarga dan orang-orang terdekat? Apakah orang-orang akan menjauhi? Apakah masih ada lapangan pekerjaan? Bagaimana menjalani hidup ke depannya?
Namun, informasi yang cukup dapat meredakan segala kekhawatiran tersebut. Jika seseorang tahu gelap yang dihadapinya hanyalah malam, ia hanya perlu beristirahat dengan tenang sampai pagi akhirnya datang kembali.
Di episode kesepuluh, alur mengerucut. Tokoh-tokoh yang terpencar kembali berpadu di akhir cerita, menyoroti perempuan asal Pontianak bernama Mariana yang baru saja menyelesaikan kuliahnya.
Mariana juga terinfeksi HIV. Ia menceritakan pengalamannya menghadapi malam, bertemu fajar, hingga akhirnya hidup di bawah cahaya matahari; suatu cahaya maha terang yang membuat Mariana dapat melihat segala perkara sejelas-jelasnya.
Tiba-tiba saya tersadar. Mengapa saya ada di situ? Bukankah seharusnya saya ada di kehidupan selanjutnya? Menyorot kisah Pipin dan Buyung, Maya dan Surya di kehidupan selanjutnya? Di awal suratan kisah “Kenapa Harus Bule?”, tatapan seekor monyet bernama Mimin membuat saya tergoda menelusuri takdir-takdir lain yang dituliskan tuhan sutradara bernama Andri Cung.
Ketika menyadari itu, buru-buru saya melompat ke masa depan di sebuah semesta yang lain.



Mungkin tuhan Andri Cung sedang bersikap adil. Setelah menimpakan beban hidup yang begitu berat kepada Maya dan Surya, di kehidupan selanjutnya pasangan ini lahir sebagai Pipin dan Buyung yang dibebaskan dari beban-beban manusiawi.
Meskipun “Kenapa Harus Bule?” bukannya tanpa konflik dan berangkat dari fenomena nyata yang tumbuh di masyarakat—stereotip perempuan dan pernikahan, white supremacy, perundungan anak-anak—tokoh-tokoh yang terlibat tidak bertumbuh secara nyata. Deus ex machina kerap datang untuk menyelesaikan masalah dan memangkas proses-proses yang manusiawi. Ini membuat isu yang diangkat jadi hadir secara tanggung. Ingin menepis stereotip, tetapi justru terjebak dalam stereotip.   
 “Kenapa Harus Bule?” mengalir sebagai fairy tale. Tokoh Pipin digambarkan laksana Cinderella. Di awal cerita, ia dihadirkan seperti itik buruk rupa. Pipin selalu tampil dengan riasan menor, pakaian warna-warni yang kurang selaras, bahasa Inggris patah-patah, dan pembawaan yang norak.
Namun, di tengah-tengah cerita, Buyung memberinya pekerjaan sebagai marketing manager. Mendadak sontak Pipin berubah menjadi sosok yang gemilang. Ia tiba-tiba hadir sebagai profesional muda dengan pembawaan yang cerdas menjanjikan. Pilihan busananya mendadak modis dan berkelas. Demikian pula riasannya.
Buyung sendiri adalah sosok prince charming idaman. Ia tampan, kaya raya, santun, dan yang pasti sepenuh hati mencintai Pipin. Semula ia sengaja dibuat invisible dari pandangan Pipin yang terobsesi pada laki-laki bule. Namun, di akhir cerita, Pipin dan Buyung—yang pada kehidupan sebelumnya berjodoh sebagai Maya dan Surya—akhirnya hidup bahagia selayaknya putri dan pangeran dalam fairy tale. Kesadaran bahwa Buyung adalah prince charming yang dicari, hadir terlalu tiba-tiba dan dipaksakan melalui pembicaraan Pipin di telpon dengan ibunya.
Hal paling natural dalam “Kenapa Harus Bule?” adalah relasi antara Pipin dengan Arik, sahabatnya yang seru seperti kembang api tahun baru. Percakapan mereka mengalir akrab dan wajar. Mereka bertengkar, berbaikan kembali, berbagi cerita, dan saling “mengganggu” selayaknya sahabat dalam kehidupan nyata. Semua berjalan apa adanya tanpa dilambat-lambatkan atau diburu-buru. Sejak awal hingga akhir, karakter Arik pun terbangun solid.
Mungkin justru isu LGBT-lah yang dalam cerita ini hadir paling manusiawi, proporsional, dan dapat menjadi jendela yang jernih untuk membingkai bagian dari kenyataan.
Arik dan Pipin. foto dipinjam dari akun IG @andricung

 Apakah “Kenapa Harus Bule?” film yang wajib tonton? Pilihannya ada di tangan kamu sendiri.
Kalau boleh saya gambarkan dalam perumpamaan, “Kenapa Harus Bule?” seperti sebotol jus dalam kemasan. Jangan bandingkan kadar vitaminnya dengan jus buah murni. Gulanya lebih banyak daripada vitaminnya, tetapi bukannya tidak ada dan kadang-kadang kan kita memang butuh gula untuk energi dan mood booster.
Untuk mengimbangi jus dalam kemasan ini, coba berselancar ke web series Youtube “Kisah Carlo”. Serial yang terdiri dari sepuluh episode tersebut diangkat dari kisah nyata dan sarat dengan informasi paling penting seputar HIV/AIDS.
“Kisah Carlo” adalah takdir lain yang dituliskan oleh tuhan sutradara Andri Cung. Di sana kamu akan bertemu dengan Maya dan Surya, Pipin dan Buyung di kehidupan terdahulu, sebelum mereka lahir kembali dalam “Kenapa Harus Bule?”, menjalani samsara, tetapi dibebaskan dari sengsara. 


Sabtu 24 Maret 2018 lalu, @cswritersclub dan @sedjawat.co diajak nobar cast and crew “Kenapa Harus Bule?”. Review ini dibuat sebagai laporan pertanggungjawaban :D

Komentar