Angin Bertiup, Tiup Lilinnya.

“De, kalau obrolan kita tadi dibikin cerpen, kira-kira elu bakal bikin cerpen yang kayak gimana?”
“Hah? Gimana, ya? Belum kepikir …”
“Boleh nggak gue minta dibikinin hadiah ulangtaun cerpen tentang obrolan kita hari ini?”
“Boleh aja. Tapi telat nggak apa-apa? Lu ulangtaun Senen, gue posting Kamis.”
“Nggak telat selama umur gue masih 30.”
“Okay. Bentuk tulisannya terserah gue kan ya?”
“Iya, bebas…”




Puji Maharani, temen Dea, adalah angin darat sekaligus angin laut. Kami sama-sama keluarga Solar Air Signs di zodiak. Dia Aquarius, Dea Gemini.

Mungkin karena sama-sama angin, pertemanan kami nggak saling mengikat. Kami nggak rutin bertukar kabar, jarang banget ketemu langsung, tapi sekalinya ketemu, obrolan kami mendadak dalem, personal, berkualitas, bahkan kadang pekat.

Puji adalah angin laut sekaligus angin darat. Pada waktunya, dia selalu kembali ke pantai ngebawa cerita-cerita tentang ombak, gelombang, kapal yang karam, dan samudera yang luas. Sementara Dea adalah angin pantai yang bertiup sepoi-sepoi, yang sehari-hari bergembira ria niupin aroma liburan, nggak peduli tanggal di kalender merah atau enggak.

“Kata orang-orang gue sulit dimengerti,” kata Puji.
“Hah? Enggak, ah. Kata gue, elu justru sangat mudah dimengerti,” tanggep Dea.
“Masa?”
“Iya. Elu selalu maparin segalanya dengan sangat jelas. Pikiran-pikiran lu, prinsip-prinsip idup lu, apa yang lu mau, masalahnya kadang-kadang kemauan lu kebanyakan hehehe …”
“Hahahaha…”

Cerita-cerita Puji ngingetin Dea untuk punya tujuan, sementara Dea ngajak Puji lebih santai ngejernya. Puji nge-list hal-hal yang gagal dia capai, sementara Dea nge-list hal-hal yang udah berhasil dia capai.

“Empat taun yang lalu kita ketemu dan ngebahas quarter life crisis, inget nggak?” tanya Dea.
“Iya,” saut Puji.
“Waktu itu elu gelisah banget. Sekarang masa quarter life lu udah lewat. Lu akhirnya resign dari kantor lu yang dulu, dapet beasiswa ke London, dan dapet kerjaan keren di tempat lu sekarang. Udah banyak yang lu capai. Lu sadar nggak, sih, kalau elu suka terlalu keras sama diri lu sendiri?” sambil nanya gitu, Dea introspeksi karena seringkali Dea justru ada di titik ekstrim yang sebaliknya.  

Jodoh adalah bahan pembahasan berikutnya. Kami ngebahas trend “jomblo shaming” yang ikut dipopulerin pejabat-pejabat tertentu, ekspektasi masyarakat tentang perempuan dan pernikahan, serta relationship.

Ternyata keidupan cinta Puji beberapa taun terakhir penuh badai dan gelombang. Seperti tipe-tipenya stereotip Aquarius, cowok-cowok Puji nggak mainstream. Di antara semua cowok yang mampir, ada satu yang keliatannya ngebekas banget buat Puji, tapi karam.

“Dia segala yang nyokap gue pasti nggak suka. Tapi dia pinter banget, jokes-nya nyambung sama gue, dan pas gue tanya kenapa dia tertarik sama gue, jawabannya bikin gue baper: ‘Because you have opinions’,” cerita Puji dengan mata bercahaya.

Cerita itu cuma berlangsung lima kencan, dua minggu, setelah itu bubar. Bukan karena ibunya Puji nggak suka, tapi karena hal lain yang lebih esensial. Puji maparin alesan di balik keputusannya dengan runut dan logis. Lagi-lagi pilihannya nggak susah dimengerti.

Tapi keliatannya kali itu dia galaunya serius.

“Cuma sebentar, tapi lebih sedih daripada pas gue putus sama pacar gue yang bertaun-taun,” kata Puji.  
“Karena itu moment, bukan waktu. Moment ninggalin jejak yang lebih dalem, tapi nanti waktu yang bakal lebih sabar dan konsisten nyembuhin luka,” saut Dea. Abis itu Dea heran sendiri kenapa caprukan Dea sore itu tiba-tiba nggak garing.

Pembicaraan lainnya adalah tentang cita-cita, rencana, dan masa depan. Puji cerita kenapa dia selalu sekolah dan ngejar ini-itu. “Karena investasi yang paling bagus ya investasi ke diri sendiri. Nggak akan ilang dan nggak akan rugi.”
Dea ngangguk-ngangguk.

Menjelang malem, kami pisahan. Puji bersiap-siap kembali menjadi angin darat. Bertiup ke laut, menyambut gelombang, dan menantang samudera. Beberapa taun yang akan datang mungkin Puji bakal kembali dengan cerita baru tentang laut dan kegelisahan-kegelisahannya.

Dea dadah-dadah sambil menyadari sesuatu.
Bahkan ketika meniup rambut, wajah, dan nyiur di pantai, angin sepoi-sepoi pun nggak harus taken for granted.

Selamat ulangtaun, Puji Maharani, makasih buat obrolannya.
Selamat menempuh fase tigapuluhan…

Salamatahari, semogaselaluhangat dan cerah,
Sundea


Komentar

Jimmy Kokong mengatakan…
Selamat ulang tahun buat temennya.

kadang sesuatu kalau di lihat dari sudut pandang yang berbeda
akan menghasilkan sebuah cerita baru...

salamatahari mengatakan…
Makasih, Jimmy Kokong ...:D
sekar mengatakan…
Mbak Sundea, salam kenal!

Sebuah tulisan yang manis untuk kawan yang berulangtahun :)
Semoga pertemanan terjaga hingga angin sepoi meniupi uban-uban di kepala.
salamatahari mengatakan…
Amiiin...makasih, Sekar ... salam kenal :)
Dwi Ananta mengatakan…
Selamat ulang tahun buat temannya Mbak ^^
Sebuah cerita dan hadiah yang manis.
salamatahari mengatakan…
Makasih, Mba Dwi :)

Nanti ucapan selamatnya Dea sampein. Mungkin kami ketemu beberapa taun lagi pas masing-masing masuk fase baru ehehehe...