Langkah saya terhenti. Ambulan tua terparkir
di dalam pembuangan sampah besar; sementara sampah-sampah lainnya malah bertumpuk-tumpuk
di luarnya. Tanpa banyak berpikir saya memotret-motret pemandangan ajaib ini.
Ketika seorang bapak yang nampaknya penduduk setempat lewat di sana, saya
segera bertanya.
“Pak, kenapa ambulannya ada di sini?”
tanya saya.
“Ini yang lama. Udah ada yang baru,
Neng…”
Selanjutnya kami jadi mengobrol. Saya
lebih banyak mendengarkan cerita si bapak. Ia bertutur mengenai betapa besar
pengaruhnya di wilayah itu, keberaniannya menghadapi RT setempat dalam rangka
membela kepentingan masyarakat, serta kehidupannya sehari-hari.
Namun lama kelamaan ceritanya bertiup
semakin jauh dan mulai tak tentu arah. Ia bercerita mengenai masa mudanya
sebagai pengajar di sebuah kampus ternama dan bagaimana ia membawa pengaruh
pada dosen dan mahasiswa. Ia menyebutkan nama orang-orang besar dan bagaimana
ia berada di balik kesuskesan mereka. Anakronisme bermunculan satu persatu.
Masa Soekarno, Suharto, dan presiden terkini bertubruk-tubrukan. Jika
dihitung-hitung usianya saat itu dan apa saja yang sudah ia lalui dalam hidup
pun tidak singkron. Hanya ada satu benang merah yang konsisten dalam
keseluruhan ceritanya: ia seorang jagoan yang berjasa untuk banyak orang.
Barangkali ceritanya memang sekadar
bualan, tapi saya setia mendengarkan. Benar atau tidak kisahnya tidak lagi
penting karena saya menerimanya sebagai cerita saja. Ia seperti Si Pitung atau
Superman dengan berbagai versi serial.
Bisa jadi juga ia memang sedang
bermain peran. Ia sempat memperkenalkan namanya kepada kami, tapi orang-orang
yang lewat memanggilnya dengan nama lain. Atau memang dia punya nama panggung
dan panggilan sehari-hari? Kami tidak tahu juga.
Selembar kresek biru terbang
diam-diam dari antara kumpulan paket sampah di depan ambulan. Perhatian saya
teralih. Ia berusaha meredam bunyinya, tapi saya mendengarnya. Ketika saya
menoleh, ia berhenti dan merapat pada sisi lain tempat sampah. Ia memisahkan
diri dan menjadi sendirian. Entah apa rencananya dan mau ke mana ia sebetulnya.
Angin membuatnya kembang-kempis, seakan sedang bernafas tidak teratur karena
baru berlari dikejar-kejar sesuatu. Dikejar apa? Dikejar apa, kresek biru?
Keberadaan ambulan dan kisah si bapak
sama-sama menggusur kenyataan-kenyataan yang biasa saya kenal.
Tapi siang itu, saya hanya ingin
menerima apa yang memang mau mereka beri.
Sundea
Komentar
Sampe sekarang Dea belum tau cerita pasti di balik si ambulan ini dan kenapa dia bisa ada di tempat sampah gitu. Karya seni instalasi :D