Relax, It’s Just Religion

Judul: Bukan Perawan Maria
Pengarang: Feby Indirani
Tahun Terbit: Mei 2017
Penerbit: Pabrikultur
Tebal: 206 halaman




“Lho? Kok lu udah dateng, sih? Kan sekarang baru jam lima.”
“Kita mampir bentar di acara temen gue, ya..”

Karena saya Gemini yang hayu-an, tanpa bertanya lebih lanjut saya langsung naik ke motor teman saya. Dalam perjalanan, barulah saya mengorek lebih jauh.

“Jadi sebenernya acara temen lu itu acara apa?”
“Acara makan-makan.”
“Lah…nanti kita kenyang. Kita kan mau makan malem keluar…”
“Tenang aja, makanannya ringan. Paling sureal-sureal gitu.”
“Sureal? Sereal maksud lo?
“Sureal.”


Tak sampai setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah bangunan serupa gedung serba guna. Di dekat pintu terpampang spanduk shocking pink bertuliskan “Bukan Perawan Maria”. Saat kami hendak masuk, seorang perempuan cantik berkebaya putih menyambut kami. “Relax, it’s just religion. Selamat menikmati,” sapanya santai dan ramah sambil membagikan gelang karet kepada setiap pengunjung. Rupanya perempuan itu adalah sang koki sendiri, namanya Feby Indirani.

Di dalam gedung, saya dan teman saya berpencar. Setelah memindai sekilas, akhirnya saya memilih stall cokelat yang paling dekat dengan saya: “Baby Ingin Masuk Islam”. Teksturnya padat, tapi permukaannya lembut. Ketika saya lumat,  bitter sweet langsung lumer di lidah saya. Saya menemukan kisah tentang babi yang ingin masuk Islam dalam cita rasa yang saya nikmati pelan-pelan. Ketika saya telan, hangat menjalari tubuh saya. Saat itulah saya tahu bahwa cokelat yang baru saya makan mengandung alkohol.

Cokelat adalah makanan yang bermanfaat bagi kesehatan. Salah satu fungsi yang saya ingat adalah meningkatkan aliran darah ke jantung dan otak. Ini berpengaruh baik pada mood dan pikiran-pikiran kita.

Setelah makan cokelat, saya menyusuri stall lainnya. Langkah saya terhenti di depan gorengan bersalut sambal yang hijau dan merah menggoda: “Rencana Pembunuhan Sang Muazin”. Saya yang penasaran segera mencomot sepotong.

Pedas! Tapi enak! Jadi, meski lidah saya panas dan mata saya berair, saya terus mengunyah. Gorengan ini mengisahkan satpam klub yang ingin membunuh muazin musala. Muazin yang selalu mengaji dengan pelantang pukul setengah dua pagi, membuat satpam sulit tidur. Satpam menjadi frustrasi.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengunyah, tak sengaja saya menggigit rawit besar. Kejutan! Saya tidak siap! Wajah saya panas. Lidah saya terbakar. Saya melihat ke kiri dan ke kanan mencari air minum. Tidak ada. Terpaksa saya mengipas-ngipas lidah saya sendiri. Kata orang-orang, meski nikmat, gorengan bukan makanan yang sehat. Tapi saya tidak yakin. Selain cabai, di dalam gorengan yang barusan saya santap saya juga mendapati wortel, kol, bahkan telur yang diorak-arik dan potongan daging. Apakah dengan begitu gorengan tidak bisa dianggap bergizi?

Setelah sekian waktu, pedas yang mendera lidah saya reda. Saya kembali berkeliling-keliling mencari penganan lain yang menarik. Pilihan saya jatuh pada kue yang terbungkus daun pisang: “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya”.

Kue itu padat dan manis. Mengisahkan perempuan berniqab yang tak lagi memiliki hidung dan mulut. Saya taksir, makanan ini dibuat dari aneka rempah dan proses yang tidak instan. Rasanya kaya dengan konflik batin Annisa, tokoh utama dalam cerita itu. Ada jahe yang pedas menggigit sekaligus hangat menenangkan dalam kasih sayang antara Annisa dan suaminya. Juga rasa cengkeh yang kuat dan mewah.

Saya mencicipi beberapa penganan lagi setelah itu. Saya mendapati kesegaran lemon pada malaikat berkepala tujuh puluh ribu dalam “Malaikat Cuti” dan cita rasa jajanan kekinian pada “Layla Al Qadar”. Lama-lama saya tersiksa oleh dahaga. Apalagi biasanya saya memang banyak sekali minum. Maka saya menghampiri teman saya yang sedang asyik menyantap “Poligami Dengan Peri”.

“Hei. Gue haus. Minuman di mana, sih?”
“Di sini minuman cuma di situ. Tuh, yang tulisannya ‘Bukan Perawan Maria’,” tunjuk teman saya.
“KOPI? Nggak ada air putih aja?”
“Nggak. Tapi itu kopinya enak. Cobain, deh …”

“Bukan Perawan Maria” adalah kopi hitam pekat beraroma harum. Biji-bijinya digiling di depan mata saya. Sebelum menyesapnya, saya menghirup aromanya dalam-dalam. Kopi ini berkisah tentang Maria – model majalah pria dewasa – yang tiba-tiba hamil tanpa dibuahi siapa-siapa. Ia yakin ia sedang mengandung juru selamat. Tapi tentu saja orang-orang di sekitar Maria mencibir tak percaya.

Kafein yang ada di kopi tersebut membuat jantung saya berdebar-debar sekaligus merangsang daya pikir saya. Ini salah satu kopi terbaik yang pernah saya minum.

Setelah puas mencicipi penganan, teman saya dan saya pamit pada Mbak Feby Indirani. Dari Mbak Feby, kami jadi tahu bahwa makan-makan ini hanya salah satu acara dari rangkaian program #RelaksasiBeragama. Menarik, ya?

Teman saya dan saya naik ke motor. Dalam perjalanan, kali ini teman saya yang membuka percakapan.

“Gue suka warna spanduknya. Cokelat.”
“Cokelat? Shocking pink, deh!” protes saya.
“Idih. Cokelat!”

Kami berdua tak melanjutan karena enggan berdebat. Sudah terlalu banyak perdebatan di mana-mana – terutama perkara keyakinan – dan kami tak ingin menambah-nambah lagi. Setelah jeda beberapa saat, teman saya memulai percakapan kembali.

“Jadi kita makan di mana?”
“Lo masih mau makan? Gue, sih, udah kenyang banget.”
“Itu kan cemilan. Cuma sureal. Gue orang Indonesia, berasa belum makan kalau belum kena nasi.”
Saya tertawa, “Ya udah, terserah lo aja. Gue cuma pengen cari air putih.”
“Ok. Food court langganan gue aja, ya, gue pengen jus alpuket sama nasi ayam kremesnya…”

Begitu tiba di food court, kami duduk berhadapan dengan pilihan yang berbeda. Tapi tidak ada masalah sama sekali dengan itu. Kami tetap bercanda dan mengobrol membahas apa saja.

“Dasar lu kulkas tiga pintu. Udah nyemil sebanyak tadi masih laper juga,” cela saya ketika melihat teman saya menyantap makan malamnya dengan lahap.
“Elu gentong. Pemabok air putih. Pasti dari tadi lu sakaw abis-abisan kan,” balas teman saya sambil menyuir ayamnya.
Kami berdua tertawa bersama. Tak ada yang merasa tersinggung.

Relax, it’s just about what we choose to eat in our everyday’s life.
Persahabatan punya nilai yang jauh lebih besar daripada itu.

***

“Bukan Perawan Maria” adalah kumpulan cerpen karya Feby Indirani. Terdiri atas beberapa pilihan warna sampul. Untuk tahu lebih banyak tentang buku ini, silakan mampir ke http://relaksasiberagama.id/. Review-review-an ini fiktif belaka, tapi tetap review :D

Komentar