Teman-teman pasti
pernah mendengar “Biola Tak Berdawai” dan “Pintu Terlarang”. Sekar Ayu Asmara adalah story teller di baliknya.
“Biola Tak Berdawai” merupakan
film yang ditulis dan disutradarai Ibu Sekar, kemudian diadaptasi dalam bentuk
novel oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Sementara “Pintu Terlarang” yang
berangkat dari novel Bu Sekar, lantas diangkat ke layar lebar oleh sutradara
kenamaan Joko Anwar.
Apa alasan Ibu Sekar
menulis? Tahukah kamu bahwa Ibu Sekar pun melukis dan menulis puisi anak?
Mengapa ia tertarik pada topik ibu dan anak? Apa saja medium berceritanya?
Bagaimana kisah di balik adaptasi naskahnya? Karya apa yang saat ini sedang
digarapnya?
Semua bisa dibahas
lengkap dalam wawancara berikut ini…
Bu Sekar, apa saja
kegiatan Bu Sekar sehari-hari?
Saya merasa rugi bilamana sehari
lewat tanpa saya menghasilkan sebuah karya. Karya tidak selamanya harus
selesai. Juga tidak harus wah. Bisa hanya sebuah judul. Ataupun sebuah gagasan
kecil. Atau hanya sebaris kata-kata tidak berarti. Yang penting, tiada hari
tanpa kreativitas. Tiada hari tanpa kreasi.
Pertanyaan mendasar
banget nih hihi. Apa alasan Ibu menulis?
Pada dasarnya saya seorang pendongeng
(storyteller). Dan saya suka
mengarang. Banyak sekali cerita yang ingin saya sampaikan. Dan ingin saya
berbagi.
Sejak kapan Ibu mulai
menulis?
Secara profesional, lirik pertama
yang saya tulis adalah “Susie Bhelel” yang dinyanyikan oleh Fariz RM pada tahun
1989.
Oh, iya. Ibu juga bikin
lagu, ya…
Ya. Lagu adalah medium yang nikmat
untuk mendongeng…
Apa lagi, Bu, lagu yang
Ibu tulis?
Ada lebih dari 75 lagu yang tercatat
pada Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Aquarius Music Publishing. “Januari di Kota Dili” yang dinyanyikan
oleh Rita Effendy salah satunya. Keindahan Timor Timur (propinsi Indonesia
waktu itu) saya tuangkan ke dalam syair lagu:
Biarlah layar terkembang
Ku ingin menyeberang
Melintas pulau dan lautan
Menjemput cintaku
Belahan jiwa yang tertinggal
Di Timur loro sae…
Yang
terakhir dibawakan Fadly dan grup Musikimia tahun 2015, berjudul “Sebebas Alam” yang
menceritakan bagaimana manusia dasarnya adalah mahluk yang bebas:
Kita terlahir sebebas alam
Tanpa belenggu tanpa ikatan
Dari alam kita belajar
Bebas tak kenal paksaan…
Menurut Ibu, apa unsur
terpenting dalam menulis?
Sebagai penulis fiksi, yang
terpenting adalah karakter dan jalan cerita. Jalan cerita bisa menjadi seru
kalau karakternya seru, jelas, dan meyakinkan. Believable. Di sinilah pentingnya pengarang atau penulis memahami
ilmu psikologi. Pemahaman psikologis ini yang akan membuat karakter rekaan kita
menjadi lebih mengesankan. Lebih hidup. Dan lebih wajar.
Riset juga menjadi unsur penting
dalam menulis. Jangan malas menggali data. Tapi juga jangan ceroboh
mengamalkannya. Harus ada keseimbangan yang jitu antara riset dan cara
menggunakan hasil riset.
Sekarang Ibu sedang menulis apa?
Saya tengah menyelesaikan sebuah
novel yang bercerita tentang Jakarta dan segala lika-liku pluralisnya. Ini
penting setelah heboh Pilkada yang mampu memecah belah Jakarta. Saya juga
tengah merampungkan Kumpulan Puisi Anak Jilid 2.
Oh, iya. Puisi anak. Ada
“Si Kulang Pandai Bernyanyi” sebelum jilid 2-nya ini. Apa yang bikin Ibu
tertarik menulis puisi anak?
Kebanyakan anak-anak di kota besar
sekarang disekolahkan di sekolah internasional. Di sekolah dwi-bahasa. Mereka
belajar dan lekat dengan Nursery Rhymes, atau puisi anak dalam bahasa Inggris yang
kebanyakan sudah dilagukan. Sebut saja “Twinkle, Twinkle Little Star”. Atau “Baa
Baa Black Sheep”. “Potong Bebek Angsa” atau “Burung Kakatua” sekarang jadi
kalah populer.
“Si Kulang Pandai Bernyanyi” adalah
hasil dari keprihatinan saya atas minimnya puisi untuk anak-anak dalam Bahasa
Indonesia.
Spoiler dikit, dong, tentang isi “Si Kulang
Pandai Bernyanyi” hehe…
Ada kuda laut bernama Kulang yang
jago nyanyi. Ada juga Negeri Setengah dimana semuanya bentuknya hanya setengah.
Seringkali orangtua menasehati anak untuk jangan terlalu berimajinasi. Buku ini
justru mengajak anak berimajinasi sebebas mungkin. Melalui puisi. Imajinasi
memang harus bisa menembus batasan apapun.
Waahhh… lucu banget.
Buku ini Ibu sendiri juga kan ya yang buat ilustrasinya? Berarti selain
menulis, Ibu juga menggambar?
Medium bercerita lain saya juga
berupa kanvas, dimana kita bisa melukiskan cerita apa saja.
Mau lihat, dong, Bu,
karya kanvasnya…hehe…
Ini lukisan saya yang berjudul “We
Will Not Forget”. Tentang kekejaman pendudukan Jepang ketika mereka semena-mena
menjadikan perempuan Indonesia budak seks mereka.
Ibu bener-bener story teller lintas medium. Tapi
kayaknya nama Ibu justru paling banyak disebut-sebut di dunia perfilman…
Dari semua medium yang tersedia,
mungkin film merupakan medium paling memuaskan. Menulis sifatnya merangkum
kata-kata. Lagu adalah audio, gabungan kata-kata, melodi dan musik. Melukis
hanyalah visual saja. Sementara film punya keunggulan bisa merangkum semuanya.
Baik audio maupun visual.
Kapan Ibu pertama kali
menulis film?
Skenario pertama yang saya tulis
adalah “Biola Tak Berdawai” di tahun 2002.
Itu berapa lama
nulisnya?
Mungkin karena euphoria bangkitnya
perfilman nasional, skenario ini bisa saya selesaikan hanya dalam waktu tiga
hari.
Wuaahhh…tiga hari???
Dapat penghargaan juga lagi, ya?
Melalui film ini saya mendapat
anugerah Sutradara Baru Terbaik pada Cairo International Film Festival tahun
2003.
Film ini kemudian
diadaptasi dalam bentuk novel oleh Seno Gumira Ajidarma. Gimana ceritanya, Bu?
Setelah rampung produksi film “Biola
Tak Bedawai”, penerbit menghubungi saya. Mereka minta saya membuat novelnya.
Saya menolak.
Lho? Kenapa?
Alasannya, karena saya telah membuat
filmnya. Kalau saya juga yang menulis, novelnya tidak akan beda jauh dari
filmnya, jadi buat apa?
Terus, terus?
Selang berapa lama, mereka kembali dan
menawarkan mencari penulis untuk mengalihbentukkan menjadi novel. Saya jawab
silakan. Selang berapa lama, mereka kembali lagi dengan mengusung nama Seno
Gumira Ajidarma. Lalu, bagaimana mungkin saya menolak nama sebesar itu. Tapi
saya menetapkan satu syarat. Saya hanya mau menyerahkan skenario untuk dibaca
dan filmnya untuk ditonton saja. Saya menolak permintaan penerbit untuk bertemu
dan berdiskusi dengan Mas Seno. Saya melepaskan hak saya sebagai pencipta, dan membiarkan
Mas Seno menciptakan sesuatu yang baru dari karya saya.
Hasilnya bagaimana?
Hasilnya luar biasa! Di film, tokoh
Dewa adalah anak penderita cacat ganda, yang sepanjang film tak bersuara. Dalam
novel, Mas Seno menjadikan Dewa sebagai narator cerita ini.
Sementara “Pintu
Terlarang” kan sebaliknya prosesnya, ya. Berangkat dari novel Ibu, lalu
didaptasi menjadi film oleh Joko Anwar.
Ya. Dan “Pintu Terlarang” adalah
novel pertama saya yang terbit pada tahun 2004. Saya juga menolak ketika
produser minta saya baca skenarionya dulu sebelum film diproduksi. Saya
bebaskan Joko Anwar menginterpretasikan novel saya. Bagi saya adaptasi adalah
melepaskan ego sebagai pencipta/penulis, dan membiarkan orang lain terinspirasi
dan berkarya sesuai kreativitas dan interpretasi masing-masing.
gambar dipinjam dari sini |
Novel lainnya?
“Kembar Keempat” dan “Doa Ibu”, semuanya
terbitan Gramedia Pustaka Utama. Novel terbaru “Takkan Lari Jodoh Dikejar” (Mei
2017) adalah upaya pertama dalam self-publishing.
Berbeda dengan novel-novel lainnya, temanya lebih ringan. Tentang cewek yang kalau
masih jomblo di usia 24, akan dinikahkan dengan pilihan ibunya. Semua peramal
yang didatangi mengatakan hal yang sama. Jodohnya ada hubungannya dengan
kupu-kupu. Sementara dia phobia berat sama kupu-kupu.
Di “Biola Tak Berdawai”
dan “Pintu Terlarang” Ibu Sekar banyak menyinggung relasi ibu dan anak. Ibu
memang punya ketertarikan pada isu ini?
Keduanya merupakan masalah yang
selalu menarik. Dan begitu banyak dimensinya. Saya beranggapan bahwa ibu, atau
perempuan, pemegang kunci kehidupan.
Kekerasan pada anak
juga beberapa kali menjadi isu yang Ibu angkat…
“Pintu Terlarang” dan “Belahan Jiwa”
memang film yang tercetus karena keprihatinan saya terhadap kekerasan pada
anak. Riset membuktikan bahwa manusia dewasa yang terganggu jiwanya pasti
mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
Apa pendapat Ibu
pribadi mengenai kekerasan terhadap anak?
Saya berpendapat bahwa kekerasan
terhadap anak-anak adalah kejahatan paling keji. Karena anak-anak adalah suci
dan tak berdaya, mereka tidak layak diperlakukan dengan kejam, terutama oleh
orang dewasa. Apapun alasannya. Mirisnya, biasanya pelaku kekerasan justru
orangtua kandung. Ironisnya, masih saja kita mendengar kasus-kasus kekerasan
terhadap anak terjadi.
Anak-anak adalah masa depan
Indonesia. Anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan menanggapi kehidupan
dengan kekerasan pula. Karena itulah yang diajarkan kepadanya. Sementara anak
yang dibesarkan dengan kasih sayang akan menjadi anak yang peduli dan penuh
welas asih.
Berarti orangtua
betul-betul harus siap bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, ya?
Ini tanggung jawab semua orang
dewasa. Termasuk penulis. Waspadalah bila kita mendengar di sebelah rumah ada
anak yang menangis berkepanjangan. Tanpa sebab yang jelas. Atau anak kecil yang penyendiri dan tak
pernah senyum. Kemungkinan besar anak-anak itu korban kekerasan. Perhatikan
perilaku anak yang di sekolah jadi perisak. Kemungkin besar di rumah ia
merupakan korban kekerasan.
Apakah topik anak-anak
memang menjadi fokus karya-karya Ibu?
Di atas itu semua, selalu saya
utamakan karya yang berkiblat kepada Indonesia. Karya yang bisa mengangkat
pusaka budaya negeri ini. Saya berkeyakinan bahwa Indonesia merupakan sumber
inspirasi yang tiada putus. Masih banyak cerita yang harus digali dan
disampaikan kepada seluruh dunia.
Punya cita-cita yang
belum terwujud dalam berkarya?
Saya masih terus berusaha menwujudkan
obsesi saya selama hampir tiga puluh tahun. Yaitu memproduksi film musikal
berjudul “Pasar Gambir” yang diangkat dari cerita cinta dan kehidupan komponis
legendaris Ismail Marzuki.
Baiklah. Terakhir,
karena edisi ini Salamataharinya judulnya “Mata Air”, apa yang muncul di
bayangan Ibu waktu mendengar frasa “Mata Air”?
Mata air adalah sumber cerita yang
ada di bumi Indonesia. Bagi seorang pendongeng, ini adalah harta pusaka yang
tak ternilai. Seperti mata air, cerita yang berakar budaya Indonesia tidak akan
pernah ada habisnya…
Azek! Makasih banyak,
ya, Bu Sekar…
Seperti mata air, Ibu
Sekar Ayu Asmara adalah sumber cerita dan inspirasi yang tak ada habisnya. Ia
pun hadir sebagai sosok ibu yang senantiasa mengalirkan welas asih tak henti-henti.
Pada suatu hari, saya dan teman-teman sebaya saya tahu-tahu merasa sangat
nyaman berkumpul di sekitarnya.
Omong-omong soal Ibu,
bukankah negeri kita ini – bumi yang penuh cerita – juga kerap dikenal sebagai
“Ibu Pertiwi”?
Komentar