Iman

“Kenapa lu masih percaya surga-neraka?”
“Banyak sodara yang mimpiin anak gua. Katanya mereka ketemu anak gua lagi main di tempat yang bagus, enak, dan di situ anak gua jadi sehat. Katanya itu surga. Kalau percaya itu gua jadi tenang.”

Di tengah kejengahan mendengar isu agama yang kerap menjadi senjata untuk saling menyalahkan, kata-kata teman saya seperti percik air yang membuat saya membuka mata. Saya seperti diingatkan kembali, mengapa sebetulnya kita perlu memiliki iman. Iman – jantung dari agama yang melembagainya – adalah sesuatu yang kecil, halus, dan personal. Iman membuat manusia selalu mempunyai harapan dan percaya pada kebaikan.


“Itu yang bikin gua lebih religius akhir-akhir ini. Karena percaya anak gua ada di surga, gua sama istri pengen kumpul sama dia lagi nanti,” teman saya melanjutkan kalimatnya.
Saya tersenyum dan berharap iman yang mungil dapat membuat hatinya besar.

Sekitar dua bulan yang lalu, teman saya kehilangan puteri kecilnya.  Anak semata wayangnya yang baru berusia 1,5 tahun meninggal karena kelainan autoimun. Ketika tak sengaja menyinggung peristiwa itu, selintas muncul kepedihan dalam ucapannya. “Mungkin ada salah di gue juga. Coba kalau…” atau “Dia emang gelisah waktu itu. Mustinya...”

Kendati begitu saya lega karena pada akhirnya ia selalu dapat membasuh segala sesalnya dengan iman, mengistirahatkan beban-bebannya pada kalimat ini, “Namanya juga takdir, ya. Gua percaya anak gua udah bahagia di sana.”

Iman adalah mata air yang jernih. Lewat beningnya kita dapat melihat dasar hati. Ia membersihkan dan menghidupkan. Memuaskan dahaga tanpa meracuni.

Namun apa yang berangkat dari iman kemudian mengalir jauuuuh sekali. Ia mengikuti jalan yang bercabang-cabang, menghanyutkan peristiwa dan tokoh-tokoh, membawa sampah dan limbah, kemudian menjadi Indonesia hari ini.

Pada suatu episode perjalanannya, apa yang bertolak dari iman menjadi begitu keruh sampai saya tak lagi dapat melihat dasar hati. Ia tak lagi membersihkan dan menghidupkan, justru menumbuhkan hasrat untuk menuding-nuding dan membinasakan. Ia mengalir membawa racun-racun yang berisiko. Beberapa orang yang menyadari jadi menolak untuk mereguknya.

Tetapi kata-kata teman saya adalah sungai kecil yang menuntun saya kembali kepada mata air. Di tengah-tengah dukanya, ia membawa kabar baik, mengingatkan saya untuk senantiasa mempunyai harapan.

“Iya, anak lo pasti udah di surga dan bahagia,” ucap saya, turut mengamini keyakinannya.
Mata teman saya berbinar-binar. Wajahnya cerah terpapar imannya.

Apa yang masih mungkin disaring sekarang, saringlah. Apa yang memang harus mengendap, biarkan mengendap dulu. 


Komentar