Tante Kesenian

Langkah saya tertahan. Tante Kesenian tiba-tiba bersinar-sinar di tengah hiruk pikuk Flinders Street. Ia duduk di pinggir jalan sambil menggambar motif-motif dengan kapur tulis. Saya ingin memberi sedekah, tapi ragu-ragu. Tante Kesenian tak terlihat seperti pengemis. Ia tidak berseru-seru minta uluran tangan, bahkan tidak menyediakan wadah receh.  Tante Kesenian tampak asyik sendiri seperti anak-anak dengan mainannya. 



“Oh, ini, ada di sebelah sini,” kata suami saya ketika melihat beberapa keping logam bertebaran di sekitar Tante Kesenian.
Saya lantas ikut meletakkan kepingan saya di situ.

Sekilas Tante Kesenian melirik saya. Saya tersenyum, sementara ia tidak. Saya jadi salah tingkah, takut menyinggung perasaannya. Tapi berhubung ia tidak tampak terganggu dengan kehadiran saya, saya tetap berdiri di situ dan ikut menghayati kenikmatannya. Hati-hati saya mengambil beberapa fotonya.

Tiba-tiba seorang laki-laki muda yang lewat memberikan roti kepada Tante Kesenian. Ternyata itulah yang membuat Tante Kesenian berhenti menggambar sejenak. Ia menyantap roti dengan lahap dan pada saat itulah saya sadar ia pasti lapar sekali. Setelah rotinya habis dimakan, ia kembali asyik menggambar, tenggelam dalam dunianya sendiri.



“Kapan-kapan kalau masih bisa ketemu, aku mau wawancara,” kata saya pada suami saya.
“Kenapa nggak sekarang?” tanya suami saya.
“Nanti lama. Udah mau gelap. Kita ditungguin di rumah.”

Suami saya dan saya berlari-lari mengejar kereta menuju Stasiun Cranbourne. Cerita kecil mengenai Tante Kesenian saya catat baik-baik di dalam hati.

Setelah hari itu, ternyata saya tak pernah lagi bertemu dengan Tante Kesenian. Entah karena ia memang sudah tak pernah ada di sekitar situ atau karena saya tidak sungguh-sungguh sempat mencari.

Ada cerita-cerita yang bisa kita miliki sepotong-sepotong saja. Ia harus berbagi ruang dengan prioritas dan waktu yang tak sepenuhnya milik kita sendiri.

Tapi jika ditanam baik-baik, yang sepotong itu bisa tumbuh menjadi apa saja.

 
Sundea

Komentar