Spion

Angkot yang saya tumpangi berhenti mendadak di pinggir jalan Setiabudi. Kepada perempuan berjaket yang sedang berdiri menunggu, supirnya menyapa riang dan akrab.

“Boru Purba, naiklah kau!”
“Eh, Uda, masih inget aja…”

Kami hanya bertiga di dalam angkot. Ketika Pak Supir dan Boru Purba mengobrol seru mengenai kampung halaman, saya menyela.

“Bapak marga apa memangnya?”
“Aku Siregar. Kau boru apa rupanya?”
“Aku Silaen, Pak, tapi udah nggak pernah pulang kampung hehe…”
“Bah, sama rupanya sama Boru Purba itu. Kenalan dululah kelian…”




Ternyata Boru Purba yang baru saya kenal hari itu adalah gadis Batak asuhan Ibu Kota. Saat ini ia sedang berkuliah di Teknik Kimia ITB. Ia belum pernah menginjak kampung halaman, tak paham adat istiadat Batak, dan sama sekali tidak bisa berbicara dengan Bahasa Batak. Tapi kami menemukan sebentuk keakraban yang lucu sebagai sesama Boru Batak Toba.

“Sudah nggak bisa lagi kalian berbahasa Batak?” tanya Pak Siregar sambil mengintip kami dari spion depan.
“Enggak,” jawab kami kompak.
“Aneh kali kulihat orang Batak ketemu orang Batak ngobrol Bahasa Indonesia,” komentar Pak Siregar.
Boru Purba dan saya tertawa saja.

Pada perjalanan yang tak sampai setengah jam, Pak Siregar memberi wejangan panjang lebar. Seperti keponakan sendiri, kami mendengarkannya dengan hormat. Pak Siregar menyampaikan kegelisahannya atas budaya Batak yang semakin luntur, tapi tak bisa menyalahkan orangtua di kota yang tak lagi mengajarkan adat istiadat pada anak-anaknya. “Tapi anakku masih bicara Bahasa Batak di rumah. Kalau Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia kan nanti didapatnya dari pergaulan.”

Ketika Pak Siregar menanyakan siapa saja Purba dan Silaen yang kami kenal di Bandung ini, Boru Purba dan saya saling berpandangan, kemudian sama-sama menggeleng.

“Nggak ada kumpul orang-orang Batak di kampusmu?” tanya Pak Siregar pada Boru Purba dengan mata terbelalak.
“Ya … ada sih …ehehe…”
“Kau, apa boru mamakmu?” tanya Pak Siregar pada saya.
“Mama Panjaitan.”
“Panjaitan??? A, itu angkotnya Si Panjaitan,” kata Pak Siregar sambil menunjuk sebuah angkot yang berselisiban dengan kami.  

Di permukaan spion depan yang sempit, Purba, Silaen, dan Siregar berbagi bidang. Tak ada yang muncul utuh pada permukaannya, tapi saat itu kami sama-sama melihat ke belakang, bukan jalan di hadapan kami. Jendela depan angkot jauh lebih luas daripada spion, tapi spion adalah cermin. Di sana kami dapat melihat bagian diri kami masing-masing.



“Di sinilah kau turun, ya,” kata Pak Siregar sambil menepi di depan gerbang ITB.
“Makasih, Uda,” kata Boru Purba, “Aku duluan, ya, Eda…” pamit Boru Purba kepada saya.
“Ati-ati, ya, Dek,” pesan saya.

Kami adalah tiga orang yang seharusnya asing. Tiba-tiba saya sadar, tempat yang saya tuju sesungguhnya sudah terlewat jauh…

Sundea

Komentar