Godam

-Omni Space, 18-23 Oktober 2016-



Pameran “Satu Guru Satu Ilmu Jangan Saling Ganggu// Sacred Hack”



“Jadi senimannya siapa? Saya atau Pak Maimun?” 





Di sela berbagai pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, Andri “Abud” William melemparkan pertanyaan balik pada hadirin. Pameran yang digelarnya bisa jadi membingungkan terutama bagi mereka yang mencoba membuat klasifikasi. Berkolaborasi dengan Pak Maimun, dukun yang dikenal Abud dari pasar Klitikan Yogyakarta, terjadilah pameran ini. “Satu Guru Satu Ilmu Jangan Saling Ganggu” sendiri merupakan kalimat permisi yang kerap diucapkan sebelum melakukan praktik perdukunan.




“Awalnya saya tertarik lihat jimat. Barang-barang yang dijual materinya seni rupa banget,” kisah Abud. Jimat bisa dibuat dari apapun yang “diisi”. Maka Abud mengumpulkan berbagai foto –

termasuk foto teman-temannya di RuangMess 56 – dan membebaskan Pak Maimun menentukan “isi” yang cocok untuk setiap foto tersebut.



Namun jimat-jimat yang dipamerkan di Omni Space adalah kemasan kosong. “Soalnya kalau diisi, artinya saya harus beli godam (pelayan di dalam jimat), saya nggak berani,” ungkap Abud. Kendati begitu, jimat akan langsung diisi jika ada yang membeli, seperti ketika mereka menggelar jimat-jimat tersebut di Pasar Cilaki.



Jimat yang hadir sebagai karya di ruang pameran, dijajakan dengan status yang berbeda di pasar. Pak Maimun memegang kendali. Ia yang menjelaskan, berdebat dengan orang-orang lain yang juga “berilmu”, dan melakukan transaksi. Abud sendiri hadir membagi-bagikan pengantar pameran yang ditulis Chabib Duto Hapsoro seperti membagi-bagikan brosur.



“Apa ini maksudnya memberi edukasi seni?” tanya Budi Adi Nugroho, seorang seniman yang hadir di artist talk, mengenai kegiatan bagi-bagi “brosur” yang digelar di Pasar Cilaki. “Nggak juga, sih, saya cuma mau lihat reaksi orang-orang,” jawab Abud sederhana. Abud mengaku, ia senang saja menabrak-nabrakkan berbagai hal. Bagaimana jika karya yang biasa dipasang di galeri dibawa ke pasar? Bagaimana jika jimat-jimat tersebut tak mempunyai standard harga yang umum? Bagaimana tuah dalam jimat-jimat tersebut bekerja? Sebesar apa peran sugesti? Ia seperti menggali dan melempar segala pertanyaan tanpa kebutuhan mendulang jawab atau simpul.



Saya tahu-tahu teringat pada kemasan kosong – biasanya obat-obatan – di rak beberapa supermarket. Di bawahnya tercantum tulisan “barang ada di kasir”. 



Ada benang merah tipis antara kardus-kardus kosong itu, jimat Pak Maimun, dan konsep pameran yang dibawa Abud.



Mereka tidak menyimpan, tapi memberi kita jalan untuk mengambil.



Tapi yang kita ambil itu sungguh milik mereka atau bukan, ya …?





Sundea

Komentar