Rudi

Semacam Review "Ruang Sendiri" - Tulus



Namanya Rudi. Ia adalah lagu yang tidak pernah datang sendiri. Aransemen alias Aran menemaninya ke mana-mana. Hari itu, di pesta ulang tahun teman kami, seperti biasa Rudi datang bersama Aran.

Mereka adalah pasangan yang membuat iri siapa saja. Rudi tampan dan gentle sementara Aran manis dan ramah. Mereka selalu bergandengan tangan, duduk berdekat-dekatan, dan mudah disayangi karena tak pernah punya kesulitan untuk mingle dengan siapapun.

“Semua untuk Rudi,” ungkap Aran dengan suaranya yang lentur dan lincah seperti harmonika. “Panggung dipersembahkan untuk Sang Lagu. Aku hanya mengiringi dan membuatnya lebih catchy bagi siapapun,” tambah Aran sambil melirik Rudi.
Rudi tersenyum santun. Tapi tepat pada saat itu, saya melihat sesuatu yang ganjil di mata Rudi. Sorotnya tidak cemerlang, justru pasi dan keruh. Genggam tangan Aran seperti tali yang membuat Rudi tak dapat ke mana-mana. Ketika Aran menatap lurus penuh sayang kepada Rudi, Rudi seperti cermin yang memantulkan kelapangan semu.



“Mas Rudi, Mbak Aran, Kalian relationship goals banget, deh. Aku foto, ya, pose, dong,” tiba-tiba seorang gadis remaja berdiri di sebelah saya.
Rudi memeluk Aran rapat ke sisinya. Tetapi lagi-lagi saya menangkap pesan selintas di mata Rudi. Dekapan itu tidak hangat. Di mata Rudi, Aran hanya seperti sebatang pohon besar. Kokoh dan tak bisa ke mana-mana karena terikat akar. 




Pemandangan-pemandangan selintas itu kemudian mulai mengganggu saya. Jika mata saya tidak pernah bertemu dengan mata Rudi, semua pasti indah-indah saja. Mereka pasangan serasi. Sikap Aran kepada Rudi pun manis sekali. Ia menceritakan kebaikan-kebaikan Rudi kepada semua orang yang ditemuinya. Sentuhan Aran lembut dan penuh sayang. Caranya berbicara kepada Rudi manis dan enak didengar.
Ketika Rudi dan Aran kebetulan sedang berdiri di sekitar saya, saya mencoba menguping percakapan mereka.

Beri aku kesempatan
'Tuk bisa merindukanmu
Jangan datang terus

Rupanya Rudi sudah mencoba mengungkapkan perasaannya, tapi Aran seperti tidak mendengar atau mungkin memang tak mau mendengar. Rudi sendiri terlalu sopan untuk mendesak. Walaupun saya yakin ia tidak merasa nyaman, Rudi mengikuti alur yang dibangun Aran.

Saya lalu memperhatikan Aran. Ia memang tak pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Semua tentang Rudi, tapi berdasarkan citra yang ada di benaknya.

“Rudi baik banget. Nggak pernah sedih, nggak pernah bete.” atau “Rudi itu romantis banget. Maunya deket-deket aku terus dan nggak pernah bosen nge-chat. Aku beruntung punya pacar seperhatian dia.”

Suara Rudi sendiri tenggelam di balik cerita-cerita Aran. Tapi saya menguping dengan lebih saksama supaya dapat mendengar suara Rudi.  Pada saat itulah saya mendengar Rudi bertutur dengan irama luruh turun,

Aku butuh tahu, seberapa kubutuh kamu…

Lalu melanjutkan dengan falset tipis yang berusaha memberi pengertian tanpa menekan,

Percayalah rindu itu baik untuk kita …

Saya menunggu respon Aran. Ternyata, bukannya memberi ruang, Aran justru membombardir Rudi dengan lebih banyak perhatian, lebih intens menceritakan kebaikan-kebaikan Rudi kepada semua orang, lebih erat menggenggam tangan Rudi, dan membuat suara Rudi semakin tak terdengar jelas.  



Suami saya yang musikus pernah berkata, “Pada dasarnya melodi itu chord yang dipecah”. Tapi karena sudah “pecah”, nada-nada itu dapat disamarkan dengan chord lain.

Ketika memperhatikan baik-baik, saya segera menangkap chord yang diarah oleh remukan melodi Rudi, namun Aran mengganti pesannya dengan chord lain yang lebih bright. Tempo Rudi tidak cepat, tetapi beat menyamarkan kesenduannya. Akhirnya, mereka yang tidak menatap mata Rudi atau sungguh-sungguh mendengarkan segala yang dikatakannya, mengambil simpulan berdasarkan citra yang dibangun Aran. Aran yang “hanya” menceritakan Rudi ternyata lebih dominan daripada Rudi yang tidak rebel dan berusaha setia pada harmoni.

Pada suatu titik, setelah banyak bercerita tentang Rudi dengan suara harmonikanya, Aran berhenti. Rudi menggunakan kesempatan itu untuk sebisa mungkin menunjukkan diri apa adanya, meski samar-samar Aran masih berusaha membantahnya.

Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri
Untuk tetap menghargai rasanya sepi



Saya kembali menunggu respon Aran. Ternyata Aran malah menahan Rudi lebih kuat. Saya mendengar dan melihat keduanya terlibat dalam “pertengkaran” yang elegan dan dewasa. Saya tahu Rudi – walau tetap dalam koridor keadaban yang masih mungkin ia jaga — berusaha keras melepaskan diri dan menyampaikan protesnya.

Pagi melihatmu, menjelang siang kau tahu
Aku ada di mana, sore nanti
Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai

Di sisi lain, Aran yang sebetulnya sedang mencengkram Rudi erat-erat dapat menahan diri untuk tidak histeris. Jangankan histeris. Mengeluarkan bunyi yang mengganggu telinga pun tidak.

Sampai acara berakhir dan tetamu bersiap-siap untuk pulang, Aran dan Rudi belum mencapai titik temu. Tapi akhirnya Rudi mengalah. Aran mohon pamit sambil menceritakan kemanisan-kemanisan Rudi, sementara Rudi berusaha memelihara sisa-sisa ruang sendiri dalam bingkai matanya yang tak begitu lapang.




Sepeninggal mereka, saya pun pamit. Hubungan Rudi Si “Ruang Sendiri” dan Aran Si Aransemen seperti terseret-seret di sepanjang perjalanan pulang saya. Mungkin dulu Rudi memang semanis gambaran yang berusaha Aran pertahankan. Sebab saya ingat Rudi sempat mengungkapkan kalimat ini:

Baik buruk perubahanku
Tak akan kau sadari
Kita berevolusi

Mungkin dulu Rudi memang sosok yang tak pernah bosan mengungkapkan kata-kata romantis. Mungkin dulu Rudi dapat membuat segalanya indah dan chill seperti berjalan sore sambil bergandengan. Mungkin dulu Rudi tidak pernah terlihat sedih apa lagi marah. Mungkin dulu mereka pasangan yang saling merespon dengan bahasa yang sama. Tetapi ketika hidup berubah dan Rudi ingin bergerak, Aran seperti pohon yang sudah tertambat akar. Dan baginya, Rudi adalah akarnya.

Hal yang paling luar biasa adalah kuatnya kontrol diri dalam relasi mereka. Mereka tidak menularkan ketidaknyamanan mereka kepada publik, bahkan tetap melayani dengan citra yang membuat “penonton” bahagia. Point yang paling mungkin mengganggu kita adalah cerita-cerita yang tayang di mata Rudi: Warna-warna yang jauh dari cerah. Merpati yang tidak terbang. Kursi yang sendiri. Lilitan tambang panjang. Pohon yang terlalu besar dan keras untuk dipeluk. Lumut di dinding. Cermin dan kelapangan semu. Kasur yang tidak nyaman. Dan gerak-gerik serba wagu.

Saya lalu teringat pada iklan hair tonic di tahun 90an. Di sana terdapat kalimat, “Yakinlah apa yang dikatakan Rudi…”

Tapi bagaimana jika Aran memang tak ingin meyakininya…?



Sundea

"Ruang Sendiri" adalah salah satu lagu di album Monokrom Tulus. Sejak pertama kali mendengar sambil menonton video klip lagu ini, saya sudah “terganggu” dengan relasi lirik-musik-visual yang disajikan. Paket outsanding tersebut lalu melahirkan review “Rudi”.  

“Ruang Sendiri” bisa diunduh di http://smarturl.it/RuangSendiriTULUS. Video klip dan infrormasi mengenai sosok-sosok keren di balik karya ini bisa dilihat di sini 

Komentar

Andika mengatakan…
Tadi setelah baca, langsung nyetel video klip lagu ini ... Kalau gw, ketika menyampaikan ketidaknyamanan, biasanya nggak meledak-ledak. Disampaikannya juga setelah ada jeda buat berpikir, dan memilih kata yang sekiranya nggak bikin orang yang mendengar merasa tersakiti.

Tapi gw sering takjub dengan orang yang bisa melampiaskan kemarahannya pada saat itu juga, dengan 'aransemen' yang selaras dengan perasaannya. Semakin takjub lagi apabila setelahnya orang yang marah bisa berbaikan dengan orang yang dimarahi.

Karena kadang gw membiarkan ketidaknyamanan mengendap, tanpa disampaikan. Gw berasumsi tidak akan didengarkan, tidak akan dimaafkan ketika menyampaikannya. Hubungan dengan orang terdekat pun bisa terganjal karena endapan ini.
Sundea mengatakan…
Pukpuk Andika ...
SYM mengatakan…
awalnya saya kira cerita ini tentang Bapak Habibie, ternyata tentang lagu ruang sendirinya tulus. Kok saya suka banget ya dg tulisan ini, dan bikin saya makin seksama memperhatikan video klipnya. Pokoknya, suka. Terimakasih.
Sundea mengatakan…
Makasih, Mbak Syam, salam kenal :D