Semacam Review "Tempat Paling Liar di Muka Bumi"
“Berbahagialah mereka
yang tidak melihat namun percaya. "
-Yohanes 20: 29
Iman adalah mata yang mampu melihat
masa depan meski dalam kegelapan. Ia adalah perjalanan tanpa peta menuju tanah
perjanjian. Keyakinan pada “tiba”, sejauh apapun telah tersesat.
“Ada sesuatu yang sedang gue bangun di sini, tapi belum keliatan,” kata
Theoresia Rumthe alias Theo enam-tujuh tahun yang lalu. Saat itu usianya dua puluh tujuh, usia yang konon memang
“keramat”. Saya ingat di masa itu keluarga Theo mendesaknya segera pulang ke
Ambon, menawarkan pekerjaan tetap, menata hidup yang mapan, dan membangun
Maluku.
“Gue pasti bakal bikin sesuatu untuk
Maluku. Tapi caranya nggak seperti yang mereka pikir,” lanjut Theo. Matanya berkilat penuh keyakinan dan saya
jadi ikut meyakini imannya. Meski keluarga di rumah bulak-balik menyampaikan
kekhawatiran, meramalkan masa depan yang mungkin diganjar oleh ketidakpastian, dan
menawarkan kepastian yang tinggal ditapaki, Theo memilih iman. Dan ia berjalan.
Saat itu Theo bekerja sebagai penyiar
radio, wedding singer, dan sesekali
menerima tawaran sebagai mc (kelas public
speaking-nya yang hits belum lahir di masa itu). Bukan sekadar bertahan, ia betul-betul hidup.
Berulang kali ia mengungkapkan kecintaannya pada Maluku. Ia bercita
menceritakan Maluku kepada banyak orang lewat dirinya.
Hingga di suatu masa, kami yang Libra
dan Gemini ini tertiup angin hidup kami sendiri-sendiri. Saya tak lagi sering
mendengar cerita Theo, tapi saya mulai melihat imannya bertunas. Molucca
Project. Terlibat dalam film “Cahaya dari Timur”. Ikut menyanyi di album “Hela”
Grace Sahertian. Dan terakhir, bertemu dengan Weslly Johannes, kekasih dengan
mimpi yang sama. Bersama Weslly, Theo merayakan “tiba” yang sudah lama
dijanjikan oleh iman.
“Tempat Paling Liar di Muka Bumi”
awalnya ditulis Theo dan Weslly lewat
berbalas sms. Karena kegiatan itu semakin intens, kata-kata yang mereka
deburkan bertumpuk menjadi lautan puisi.
Mereka menyusunnya menjadi sejilid buku, memberi pantai kepada lautan
puisi tersebut.
dan takdir itu jatuh pada sang gadis
rambutnya adalah ombak
lidahnya adalah gelombang
sudah lama ia menyimpan kenangan
tentang ikan, lautan, dan jejak-jejak teteruga kecil
[Kepada Bantal, TR dan W]
Laut Maluku adalah backdrop karya dialogis ini. Ia
mengantar imajinasi indera kita bertualang mengarunginya. Kita bertemu dengan nelayan,
perahu, layar, ombak, pantai, ikan-ikan, dan angin yang bertiup. Kita bahkan
diajak menyelam ke dasar lautan, menjumpai bintang laut yang tak terlihat namun
cahayanya membayang-bayang. Puisi-puisi dalam buku ini seperti foto-foto di
kartu pos dan majalah-majalah traveling. Seperti video musik eksotis di National Geographic Channel.
setiap kali kaudengar musik dari tanah mana ukulele dan
kole-kole dibentuk dari batang pule, jangan malu ucap itu
mantra, sebab sia-sia aku mencari lagu semerdu bisik rindumu
[lagu kesukaan, W]
Tetapi pesona itu baru permukaan.
Ia seperti laut yang perlu diselami untuk betul-betul dipahami. Laut dan segala
kehidupan yang melingkupinya adalah metafor, adalah mimpi-mimpi Maluku, adalah
cerita tentang kehidupan yang berdenyut di sana, adalah Adam dan Hawa yang mencintai
namun tak ingin berhenti memagari diri di Firdausnya.
kau bercerita tentang terdampar di antara ikan-ikan,
mengasihi mereka yang murni jiwanya, jauh dari gemerlap
ia seperti bulan tembaga di atas kepala, pualam
pelan-pelan dua orang muda berjalan
tidak sering bergandengan, apalagi berciuman
namun jiwa-jiwa mereka saling bertautan
[Sepasang Jiwa dan Lautan, TR]
Membaca karya teman baik saya dan
kekasihnya ini menerbitkan haru tersendiri pada saya. Iman adalah perjalanan
paling liar di muka bumi. Tak ada tiket yang memberi kepastian transportasi.
Tak ada peta yang menuntun jalan menuju ke sana.
antara ibu dan ombak,
mereka punya kesamaan
yaitu pulang:
ibu yang sudah lama
pulang
ombak yang selalu
pulang
“rinduku adalah di
antara sudah dan selalu”
[rindu dan ombak, TR]
Sinar mata dan
keyakinan yang diungkapkan Theo enam-tujuh tahun yang lalu mengilas kembali di
ingatan saya. Ketika Theo berusia dua puluh tujuh. Ketika seluruh keluarga khawatir Theo tidak akan pernah pulang. Ketika saya
sendiri yakin ia pasti pulang dan memaknai “pulang” dengan caranya sendiri.
Theo dan Weslly saling menemukan.
Mereka percaya pada tempat-tempat paling liar di muka bumi yang harus mereka
jelajahi. Kini perahu mereka berlabuh di bibir pantai. Tetapi karena bibir
selalu berucap dan meniup, perahu mereka tak akan membisu. Layarnya kelak mengembang
lagi melanjutkan tualang.
Sundea
Tempat Paling Liar di Muka Bumi terbit tanggal 29 September 2016 ini. Cerita Theo-Weslly sendiri tentang karya mereka bisa dilihat di sini.
Komentar