Beberapa waktu belakangan isu LGBT meriah
di mana-mana. Dea ngikutin, tapi nggak banyak komentar. Bukan apa-apa. Selain
karena udah terlalu riuh, Dea nggak tau juga mau ngomong apa soal LGBT. Orangtua Dea – terutama papa – ngajarin Dea
untuk ngehargain setiap orang dengan pilihan-pilihannya. Jadi kaum LGBT pun Dea
liat dengan biasa-biasa aja. Dari kecil Dea berinteraksi sama mereka sama
seperti Dea berinteraksi sama orang-orang lainnya. Ada yang cocok sama Dea
sampai bersahabat banget, ada yang nggak cocok-cocok amat. Tapi cocok nggak
cocoknya Dea sama mereka sama sekali nggak ada hubungannya sama preferensi
seksual mereka. Orang-orang hetero pun punya potensi cocok dan nggak cocok yang
sama besarnya.
Sampai kemaren, Dea baca tulisan Bang
Henry Manampiring di sini. Bagian ini seperti ke-highlight:
Kepada mereka yang membenci kamu
karena tidak mengerti, kamu hanya bisa sabar, sambil tetap menunjukkan bahwa
apa yang mereka takutkan dan tuduhkan tanpa alasan itu sebenarnya tidak benar.
Sayangi mereka anyway, dan berharap lambat laun mereka
melihat kamu sebagai manusia juga. Tunjukkan bahwa kamu sama dengan saya,
manusia biasa. Kita berdarah sama merah, kita tertawa sama lantang, dan kita
menangis sama air matanya.
Setelah baca banyak artikel seputar LGBT,
baru cuplikan itu yang bener-bener narik perhatian Dea dan bikin Dea kepengen
nulis sesuatu. Mungkin LGBT memang belum diliat “biasa-biasa aja” sama society
secara umum. Society bisa jadi nggak bermaksud jahat. Tapi sadar nggak sadar
mereka udah dididik untuk ngebangun bates dan punya judgement yang fix.
Beberapa orang mungkin nggak bersikap
reaktif ke kaum LGBT. Tapi toleransi butuh kelapangan yang lebih luas daripada
itu. Ketika seseorang tetep milih menilai kaum LGBT dengan stigma tertentu,
pagernya nggak akan runtuh. Dia mungkin nggak akan pernah ngeliat kalau masalah
temen-temen kita yang LGBT nggak sesederhana seks dan pernikahan sesama jenis
aja. Temen-temen LGBT kita juga punya keluarga, ngadepin quarter life crisis,
struggle sama karir, dan ngadepin masalah-masalah yang sama sama kita. Sebagian
besar temen LGBT Dea pun sangat nyaman dicurhatin dan suka punya advice-advice
yang mencerahkan. Ketika diliat dengan
biasa-biasa aja, mereka juga biasa-biasa aja, kok.
Nah. Karena salamatahari edisi ini
temanya “Altruis”, Dea kepengen ngebagi beberapa cerita tentang sikap altruistik beberapa temen LGBT Dea.
Cerita 1
Sebut aja Oom X. Orangnya baik, lucu,
pinter masak, dan aktif di gereja. Sampai umur 50 sekian, dia nggak nikah.
Padahal dia udah jadi papa, ngasuh keponakan perempuannya yang masih kecil.
Karena dorongan keluarga, orang-orang
di gereja, dan mikirin masa depan anak perempuan kecilnya, akhirnya dia nikah.
Tapi karena terlalu banyak yang di-repress, selama pernikahan itu berjalan,
ada-ada aja masalahnya. Sebelum nikah Oom X adalah ayah sekaligus ibu yang baik
untuk anak perempuannya. Tapi setelah nikah, dia malah harus sibuk struggling
sama hal-hal lain yang otomatis pengaruh juga sama pertumbuhan anak
perempuannya.
Akhirnya Oom X mutusin untuk pisah
sama istrinya. Apapun kata society, Dea ngeliat anaknya tumbuh lebih sehat
dengan ayah-ibu two in one di sosok Oom X.
Cerita 2
Y adalah temen LGBT Dea yang hore,
gaul, dan populer. Dia Gemini. Temennya banyak dan cukup eksis di ibu kota. Kerjaannya
di Jakarta juga udah bagus.
Pada suatu ketika, dia cerita kalau
dia minta dipindahtugasin ke kantor cabang di kota kecil tempat orangtuanya
tinggal.
“Lah? Kenapa? Temen lu kan di Jakarta
semua. Di sana elu bakal main di mana dan sama siapa?” Dea nanya.
“Tapi kasian orangtua gue. Gue pengen
nemenin mereka …”
Akhirnya Y pindah. Udah beberapa taun
belakangan dia tinggal di kota itu nemenin orangtuanya. Kadang-kadang dia masih
suka drama-drama kesepian dan kangen gemerlap ibu kota. Tapi rasa sayang dia
sama orangtuanya nahan dia di kota kecil itu.
Sampe sekarang Dea masih ngerasa
pilihan Y yang altruis ini manis sekali :’)
Cerita 3
Dea punya dua temen yang bersahabat.
Yang satu LGBT, satunya lagi straight tapi punya prinsip-prinsip yang bikin dia
susah nikah secara konvensional. Kedua sahabat Dea ini mutusin untuk nikah demi
kebahagiaan orangtua mereka masing-masing. Tapi mereka juga bahagia, karena
dengan nikah mereka mutusin jadi lifetime partner yang punya surat nikah kalau
harus nginep sekamar pas traveling :p. Ada kesepakatan-kesepakatan dan bonding
persahabatan yang unik di antara mereka.
Dea dateng ke pernikahan mereka dan
ngeliat wajah-wajah bahagia di sana. Dea ngeliat kalau manusia
yang satu adalah alesan kebahagiaan manusia yang lainnya. Pilihan manusia yang
satu adalah alesan untuk membahagiakan manusia yang lainnya.
Akhirnya … di pernikahan mereka malah
Dea yang berderai-derai air mata …
Cerita 4
Z nggak pernah officially cerita ke
ibunya kalau dia LGBT. Sampai pada suatu hari ibunya nanya dia punya “temen
deket” apa enggak, kira-kira punya rencana nikah kapan, dan lain sebagainya. Di
situ akhirnya Z ngomong terus terang ke ibunya kalau dia nggak akan nikah.
Hati-hati dia bilang kalau dia sebnernya LGBT.
Ibunya cukup kaget dan ngasih nasehat
macem-macem. Z tetep pada pilihannya, tapi di sisi lain, dia berusaha untuk
tetep bersikap hormat. Pas cerita ke Dea, dia ngomong kalau dia juga sedih,
tapi nggak mau bohong ke ibunya.
The truth may be bitter. Tapi Dea liat,
Z dan ibunya belajar nemuin jalan untuk saling ngerti karena mereka berdua
saling menyanyangi. Tanpa batas.
***
Pada suatu hari Dea lagi ngerasa
buruk banget. Dea lagi ngeselin, nggak bisa lucu, serba gagal, dan rasanya nggak
layak disayang. Salah satu temen Dea yang LGBT nemenin Dea. Dalam kondisi kayak
gitu rasanya nyaman banget ketika tau ada orang yang nerima kita apa adanya.
“Selama ini, apa yang bikin lo seneng
temenan sama gue?” Dea nanya.
“Mmm … lo orangnya nggak judgemental,”
kata temen Dea.
Tau-tau Dea kepengen nangis. Nggak
nyangka bawaan itu jadi alesan dia nyaman temenan sama Dea. Buat Dea itu
biasa-biasa aja. Dea cuma beruntung dibesarin di keluarga yang ngeliat LGBT “biasa-biasa
aja”. Itu sebabnya Dea punya kesempatan untuk kenal kaum LGBT lebih deket tanpa
kabut stigma. It's my pleasure. Sahabat-sahabat LGBT Dea lovable dan supportive. Sama sekali
nggak ada alesan untuk nge-judge mereka.
Akhir-akhir ini, perdebatan dan kontroversi seputar LGBT seperti
bandul yang gelisah nyari titik seimbang. Tapi sejarah peradaban ngebuktiin kalau
semua itu biasa-biasa aja.
Dan sekali lagi, ngutip kata-kata
Bang Henry Manampiring:
But have some faith, that mankind will
become wiser.
^^
Sundea
Many thanks untuk Bang Henry Manampiring buat inspirasinya. Salam kenal, ya ...
Komentar