Namanya singkat. Pak Yeri. Tetapi cerita hidupnya tak sesingkat namanya. Sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta, sambil mengemudi travel, ia memaparkan kisahnya. Mulai dari pengalamannya menyetir pick up lintas Sumatera, menjadi supir kantor, ditarik menjadi supir pribadi, hingga
akhirnya memilih mengendarai mobil travel seperti saat itu.
Tujuh tahun Pak Yeri bekerja sebagai supir pribadi. Masa kerja yang sepertinya paling membekas dalam hidupnya. Ia sempat bercerita mengenai kebaikan bosnya. Betapa sang bos tidak sombong, royal menraktir, memodali warung untuk istri Pak Yeri, tidak pelit memberi tip, dan memperlakukan Pak Yeri seperti sahabat.
“Jadi supir pribadi sebetulnya enak. Istilahnya, kehidupan bos juga saya cicipi,” tukas Pak Yeri.
“Lah … terus kenapa nggak nerusin jadi supir pribadi aja, Pak?” tanya saya.
“Gaya hidup saya mulai berubah. Waktu Lebaran dan kumpul bareng keluarga, saya makan mulai pilih-pilih. Mulai jijikan. Mulai tinggi tuntutan hidupnya. Saya sadar saya nggak bisa terus begitu. Kehidupan bos saya jadi ada di dalam diri saya, padahal nggak semuanya bisa saya ikuti,” jelas Pak Yeri.
“Nggak ngerasa sayang, Pak? Kan kalau dihitung-hitung bawa travel pasti penghasilannya nggak lebih besar,” pancing saya.
Pak Yeri tertawa kecil sebelum menjawab dengan tenang namun tanpa keraguan, “Ada hal yang nggak bisa dibeli dengan uang. Sekarang hidup saya jadi lebih teratur. Pergi pagi, malam sudah ketemu istri dan anak lagi. Bebannya juga beda. Dulu banyak hal yang saya harus jaga dan pikirkan. Kalau sekarang saya cuma mikir gimana di jalan dan selamat sampai tujuan. Soal materi memang berkurang, tapi untuk hidup saya sekarang, sih, cukup-cukup saja.”
Saya terkesiap menangkap kesadarannya yang begitu lanjut.
Pak Yeri mengakui, ada perjalanan panjang sebelum ia menetapkan hati untuk berhenti menjadi supir pribadi. Tetapi ada suatu peristiwa, jawaban dari doa-doanya, yang menggiringnya sampai ke sana.
“Setelah berhenti saya juga butuh waktu untuk penyesuaian diri lagi,” ungkap Pak Yeri. Ia paham betul menurunkan standar gaya hidup bukan hal yang mudah. Itu sebabnya ia berupaya melakukannya dengan kesadaran penuh.
Meski hanya lulusan SMU dan usianya belum sampai empat puluh tahun, ada kecerdasan dan kearifan yang istimewa dalam diri Pak Yeri. Pada setiap fase hidupnya, ia selalu tahu kapan saatnya berkata “cukup”. Ia juga mampu mengukur kebutuhannya sendiri tanpa harus menjadi serakah. Di manapun ada kesempatan, ia senantiasa belajar sebanyak-banyaknya. Dari sang bos, misalnya, ia belajar menghargai apa yang dikeluarkan, baik waktu maupun materi. Dari supir-supir travel saat itu ia belajar mengenal lebih dekat mesin mobilnya dan hidup lebih santai. Di sanalah saya melihat betapa Pak Yeri memahami esensi kekayaan yang sesungguhnya.
“Sama bos yang dulu hubungannya masih baik, Pak?” tanya saya.
“Masih. Buat saya bos saya sudah seperti saudara sendiri. Dia masih suka telpon, kadang nanya gimana warung istri saya. Dia senang kalau apa yang dia kasih bisa digunakan dengan baik,” jawab Pak Yeri.
Sepanjang obrolan, ada satu kata kunci yang saya tangkap dari cara hidup Pak Yeri. Menyaring. Dari sanalah kualitas-kualitas terbaik dalam setiap episode kehidupannya jadi tak tersamar oleh hal-hal yang mungkin membuatnya jauh tersesat.
Travel memelihara rejeki Pak Yeri dalam trayek yang jelas setiap hari. Menyaringkan rute mana saja yang memang perlu ia tempuh.
Demikian pula cara kebijaksanaannya menjaga hidupnya.
Sundea
Komentar