Menghangatkan Ingatan di Substore

Bandung, Pasar Cikapundung, 15 Mei 2015-


Pembukaan Substore Pasar Cikapundung


“Waktu piringan hitam itu saya setel, ibu saya langsung cerita: Abdullah itu namanya, Si Mata Setan!”








Di tengah kesahajaan pasar barang antik Cikapundung, pada rangkaian acara pembukaan toko kecil Substore 15 Mei 2015 lalu, cerita-cerita yang membeku dalam ingatan Pak Haryadi Suadi dihangatkan kembali, lantas disajikan dalam diskusi sore yang akrab, “Mengapa Piringan Hitam”. Pak Haryadi adalah pencinta piringan hitam. Usianya sudah nyaris delapan puluh tahun, tetapi ingatannya masih sangat kuat. Dosen seni rupa ITB itu adalah saksi dari berbagai masa yang silih berganti.


Ditemani oleh aktivis media sosial Arman Dhani dan dua peminat piringan hitam yang jauh lebih muda, Budi Warsito dan David Tarigan, Pak Haryadi membagi berbagai cerita menarik yang dibawanya dari perjalanan rentang masa yang ia tempuh, antara lain kisah penyanyi keroncong bersuara emas bernama Abdullah itu.








“… ternyata piringan hitam Abdullah sampai di Amerika. Tahun 1938 Charlie Chaplin datang ke Indonesia dan ingin bertemu Abdullah. Katanya, ‘mana yang namanya Abdullah itu? Suaranya bagus sekali’. Ternyata lagu Abdullah yang didengar Chaplin adalah ‘Si Mata Setan’. Karena kejadian itulah Abdullah jadi terkenal sebagai ‘Abdullah Si Mata Setan’,” papar Pak Haryadi.




Dari Pak Haryadi jugalah untuk pertama kalinya saya mendengar nama Harry Liem. Beliau adalah kritikus musik jazz yang aktif di tahun 1930an. Harry Liem adalah pelopor penggelaran panggung-panggung jazz di Indonesia dan sempat membuat majalah musik bertajuk “The Rhythm”. “Dia kemudian pindah ke Amerika. Ada fotonya juga bersama Billie Holiday,” Pak Haryadi menyebut nama seorang penyanyi jazz yang sangat legendaris.



Substore sendiri adalah toko yang menjual piringan hitam, buku-buku klasik, serta pernak-pernik vintage. Toko ini punya “kakak” di Pasar Santa, Jakarta. “Kalau di Jakarta, kita bisa konsentrasi jual piringan hitam. Kalau di sini untuk income-nya kita jual kopi,” kata Intan Anggita, salah satu dari antara tujuh pendiri Substore, sambil menunjuk stand Sub Coffee yang persis bersebelahan dengan toko kecilnya. “Oh, iya. Kita juga ada open kitchen di sini,” tambah Intan. Jadi, siapapun yang ingin berjualan makanan di sana, boleh ikut menggunakan dapur Sub Coffee. Sistemnya share profit saja. “Boleh makanan apa saja, tapi jangan kopi, soalnya kalau kopi dari kita,” kata Intan lagi.




 

Kendati tak seberdaya beli peminat Jakarta, menurut Intan, pencinta-pencinta piringan hitam senior berkumpul di Bandung. Pak Haryadi salah satunya. Itu sebabnya, membuka Substore di Bandung adalah sebuah tantangan yang menarik. Bersama sang suami Arya Anggadwipa serta kelima teman lainnya Galih Mulyana, Andhika Faisal, Febian Nurrahman, Naya Anindita, dan Petra Gabriel, Intan membuka Substore cabang Bandung. Tidak tanggung-tanggung. Untuk itu, ia dan suami sampai hijrah ke Bandung. 






Hari itu, rangkaian acara pembuka Substore berlangsung hingga larut. Waktu seperti membeku justru karena keakraban yang begitu cair.







… dan lagu-lagu yang pernah menjadi tanda suatu masa mengalun dari piringan hitam yang berputar seperti waktu itu sendiri. Entah mengapa, saya merasa nafas para penyanyinya seharum teh kayu manis.



Teman-teman, silakan mampir ke Substore di Pasar Cikapundung lantai paling atas. Toko ini buka mulai pukul tiga sore hingga sembilan malam. Nikmatilah suasana klasik sambil menghirup harum kopi yang berbaur dengan keharuman kertas-kertas tua yang sangat khas. Kalau ada yang berminat untuk merespon open kitchen yang ditawarkan, boleh, lho, mengobrol langsung dengan teman-teman di Substore …







Sundea

Komentar