Melampaui Mimpi–@tapsiyun


"Jangan takut. Kamu tidak pernah menjadi satu-satunya singa yang melawan naga di semesta ini..."
Halaman 94. 

Itu bagian pertama dari buku Melampaui Mimpi yang saya lipat ujung atasnya. Kenapa? Karena...

Karena saya pikir, sering kali saya atau bahkan banyak orang di luar sana merasa bahwa kitalah satu-satunya orang yang paling menderita, paling susah, paling berbeban berat, dan paling-paling semuanya. Lalu lahirlah rasa mengasihani diri, merasa bahwa mungkin memang nasib kita demikian. Tapi, terima kasih untuk Kang Ginan dan Dea :) Seorang yang sangat menginspirasi saya, dan seorang yang menuturkannya dengan begitu indah.

Lewat buku Melampaui Mimpi, saya belajar melihat. Selama ini saya berpikir bahwa Ginan adalah sosok yang luar biasa tangguh, kuat, tegar. Ya! Memang demikian adanya. Tapi kemudian mengetahui bahwa dalam perjalanan hidupnya, ia mengalami berbagai bagai bagai.. membuat saya merubah sedikit pikiran awal saya tadi. Untuk sampai pada tahap ia menjadi sosok yang luar biasa tangguh, kuat, dan tegar tadi, Ginan melalui jalan yang tidak mudah.



Tak terbayangkan bagi saya, apa rasanya menjadi seorang Ginan di tengah-tengah kecanduannya yang parah, harus mencari uang untuk menghentikan sakaw yang ia alami. Walau harus mencuri dan menipu sana-sini, tapi selalu ada jalan. Hehehe, bukan berarti memuji perilaku yang satu ini sih. Tapi paling tidak, dalam keadaan paling tidak mungkin sekalipun, pasti masih ada yang mungkin dilakukan. Baik ataupun buruk itu. Tinggal kita memilih. Menggunakan hati nurati, dan akal sehat.

Ginan dan Dea tidak mengajarkan bahwa kita harus berjuang sampai mati. Lipatan kedua yang saya buat di buku ini ada di halaman 183.

"Mengalah tak selalu berarti kalah. Saya ingat, apa saja yang saya dapatkan ketika saya belajar untuk melakukannya..."

Ya. Kadang mungkin saya pribadi merasa terlalu gengsi untuk mengalah. Pokoknya pantang! Tapi kaki-kaki Ginan yang bisa saling bicara itu punya cerita lain. Hidup dan segala yang nyata di dalamnya tidak selamanya sesuai dengan yang kita mau. Ada kalanya harus mengalah. Tapi itu tidak menjadikan kita kalah. Mengalah untuk kebaikan bersama :)

Ah, buku ini rasanya seperti cermin. Semacam kamus. Serupa tombol HELP. Yang ketika selesai membacanya, bisa saya gunakan kapan pun perlu. Saat merasa gamang atau bimbang, kecewa, bahkan hampir putus asa, mengingat kembali perjuangan Ginan dan bagaimana ia memiliki orang-orang yang selalu mendukungnya, membuat saya berhenti mengeluh dan sejenak bersyukur bahwa paling tidak saya masih punya orang-orang di sekitar saya yang hampir selalu ada ketika saya membutuhkan mereka. Ini menghantar saya pada lipatan ketiga di halaman 205.

"Mungkin, selama ini kita lebih sering menyerap energi dari orang lain, tapi lupa memberi. Kita ingin orang lain membuat kita bahagia. Kita ingin orang lain memahami kita. Tapi, ketika kita hanya menyerap dan lupa menyalurkan apa yang seharusnya kita salurkan, kedamaian yang sesungguhnya tak akan tercapai. Hubungan yang harmonis membuat kita secara otomatis saling memelihara. Dari tanaman pun saya sadar. Jika ingin menjadi kokoh, perkuatlah akar, cari nutrisi jauh ke dalam, bukan justru memperindah pucuk."

Kecenderungan untuk selalu mengharapkan orang lain begini dan begitu terhadap saya sering kali menghantar saya pada rasa kecewa. Kenapa? Karena saya kadang begitu egois. Kadang saya merasa bahwa sahabat saya wajib mendengar segala keluh kesah saya. Saya tarik begituuuu jauh ke dalam sebuah rasa galau dan gundah. Energinya saya serap semaksimal mungkin hingga empatinya mengalir. Tapi kadang ketika orang lain yang melakukan itu terhadap saya, saya bentengi diri untuk tidak larut di dalamnya. Ah, egoisnya saya.

Ternyata satu lipatan terlompat. Halaman 181. Bagian ini agak panjang...

"Saat menatap matanya, emosi saya menggelegak. Saya menyadari, sehebat-hebatnya kita belajar mencintai adalah ketika kita menunjukkan cinta kita kepada anak-anak. Cinta mereka bukan seperti investasi. Mereka mencintai begitu saja tanpa berharap mendapat keuntungan. Sesungguhnya, seberapa banyak pun, cinta yang kita berikan belum tentu lebih besar daripada apa yang mereka berikan. Di dalam sosok mereka yang kecil, terkandung ketulusan yang dapat meyimpan segalanya."

Lagi..

"Anak adalah lambang dari segala sesuatu yang baru. Mereka tidak berdosa, mereka mudah melupakan, dan mereka seperti roda yang dapat berputar sendiri."

Pertama, saya merasa sedikit bangga karena saya bekerja untuk anak-anak dengan HIV di Jakarta. Sedikit merasa hebat karena tak mungkin bekerja tanpa mengikutsertakan hati dan cinta untuk anak-anak itu. Tapi kedua, saya malu. Bahwa kadang kala saya sangat tidak pemaaf. Ya, saya pendendam. Dan itu sering bikin sakit kepala (hehehe). Walau lebih sering ditelan sendiri dan dimuntahkan lewat tangis. Lalu semoga berlalu. Tapi ya itu tadi. Saya ingat keponakan saya yang berusia 8 tahun. 15 menit yang lalu dia membuat saya kesal, marah, bahkan sampai ogah untuk berlama-lama bermain dengan dia. 3 menit kemudian dia menjauh. Dan kurang dari 1 jam, dia datang lagi sambil tersenyum membawa sebatang cokelat, "Namboru mau ga?" tawarnya pada saya. Dan senyumnya meluluhkan hati saya. Baginya, tak perlu waktu begitu lama untuk memaafkan dan melupakan. Ah, anak-anak :)

Ini lipatan terakhir, lipatan kelima. Halaman 243.
"...saya menyadari bahwa setiap orang mempunyai perjuangannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya, bukan seberapa kuat kita mampu menentang hidup, tetapi seberapa kuat kita mampu berdamai dengannya. Seberapa kuat tekad kita untuk berjalan menjajaki hidup itu sendiri ketika hidup menempa setiap langkah yang kita tapaki."

Seberapa kuat saya mampu berdamai dengan hidup? Hehehe.. rasanya ingin kepala dan hati ini dicolok dengan kabel data, lalu disambungkan dengan komputer kemudian dihitung menggunakan aplikasi. Saya sendiri tidak tahu. Tapi sebenarnya saya juga yang harusnya tahu. Yang jelas, seperti tulis Ginan di halaman (i) pada buku yang indah ini untuk saya:

"FOR: NATASYA. Tetap berjuang, meskipun sulit. There's no easy road for something meaningful."
Saya senang, Ginan menggunakan "meaningful"  di sana dan bukan "beautiful". Karena saya yakin, bahwa pun sesuatu berakhir tak indah, pasti ada sesuatu yang bermakna di sana.

Terima kasih Ginan dan Dea untuk buku yang indah ini. Asalnya, tulisan ini menjadi review, eh ternyata jadi curhat :D Anyway, ini adalah buku terindah yang saya baca di tahun ini :)

Terima kasih, semesta!

======================

NatasyaDitulis oleh Natasya Evalyne Sitorus. Bekerja melayani anak-anak dengan HIV di Lentera Anak Pelangi. Dapat dikunjungi di akun twitter @tapsiyun dan http://natasyasitorus.wix.com/ruang-gaduh-gelisah 

Komentar