Semarang adalah kota yang sibuk. Dan di tengah lautan manusia yang bergulung-gulung seperti ombak, pasangan suami-istri ini hanyalah sepasang riak. Kendati begitu mereka segera menarik perhatian saya. Mereka bercanda seperti sepasang remaja, duduk rapat-rapat sambil berpegangan tangan, dan tak henti saling menatap seperti baru jadian. Saya pun segera menghampiri mereka.
“Pak, Bu, boleh aku foto, nggak?” tanya saya spontan.
Keduanya sempat terkejut. Meski begitu, sesaat kemudian mereka mengangguk dan tersenyum ceria, membiarkan saya memotret mereka.
“Pasangan sejati, tuh,” celetuk seorang Bapak yang duduk di pinggir jembatan, tak jauh dari mereka. Saya hanya tertawa kecil menanggapi.
Nama suami-istri itu Pak Slamet dan Bu Parminah. Masing-masing berusia 53 dan 52 tahun. Sudah puluhan tahun mereka menikah dan mengemis di wilayah Gang Lombok, Semarang. Rumah mereka tidak jauh. Setiap hari mereka datang berboncengan naik sepeda.
“Dulu ketemunya di sini juga?” tanya saya kepada mereka berdua.
“Iya,” sahut keduanya hampir berbarengan.
“Ceritain, dong, gimana ketemunya …”
Keduanya hanya senyum-senyum. Pada akhirnya Bu Parminah yang menjawab, “Ya begitu saja …”
Ternyata Ibu Parminah dan Pak Slamet sudah mempunyai delapan orang anak. Tujuh perempuan, dan satu laki-laki. “Yang perempuan ada yang kembar, tapi sekarang yang kembar di Jakarta karena lahirnya dioperasi,” cerita Bu Parminah.
“Iya, dibawa sama yang biayai operasinya, kita nggak ada biaya. Anak saya sudah besar-besar, Mbak, ada yang kira-kira seumur Mbaknya,” tambah Pak Slamet.
Ketika ditanya apa yang menjadi resep keawetan dan kemesraan mereka, keduanya tampak bingung, lalu akhirnya memberikan jawaban yang tidak menjelaskan.
Ketika ditanya apa yang menjadi resep keawetan dan kemesraan mereka, keduanya tampak bingung, lalu akhirnya memberikan jawaban yang tidak menjelaskan.
“Ya … karena sudah lama,” sahut Bu Parminah.
“Karena sudah tua …” sambung Pak Slamet.
“Selama menikah, Bapak atau Ibu pernah bosan atau naksir orang lain nggak, sih?” tanya saya iseng. Dengan cepat dan lugas keduanya menjawab kompak, “NGGAK!”
Semarang adalah kota yang sibuk. Dan di tengah lautan manusia yang bergulung-gulung seperti ombak, pasangan suami-istri ini hanyalah sepasang riak. Karena saya tak bisa berlama-lama di sana, pertemuan singkat itu segera menjadi buih yang tertelan samudera.
Tetapi lautan manusia itu tetap menjaga kisah mereka dalam misteri dan rahasia …
Sundea
Komentar