-Bandung, Minggu, 29 September 2013-
Pra Gathering STPC “Bangkok”
“Em, lu percaya jodoh, nggak?” tanya saya.
“Mmmm … enggak,” sahut Em, sahabat saya, yang sedang mengemudi di sebelah saya.
“Kenapa?”
“Kalau jodoh itu ada, kenapa ada orang yang nikah sampai tujuh kali? Apa itu berarti jodoh dia ada tujuh?”
Percakapan Em dan saya menggantung sampai di situ, sementara lagu Jodoh Pasti Bertemu dari Afghan terus berkumandang dari radio mobil. Moemoe Rizal, penulis novel “Bangkok” yang juga ada bersama kami, tidak banyak berkomentar. Senja semakin tua sementara kami belum menemukan apa yang betul-betul kami cari.
Hari itu, Moemoe, Em, dan saya berkeliling Bandung mencari rumah makan Thailand yang cocok untuk gathering novel “Bangkok”. “Bangkok” adalah salah satu judul dari serial “Setiap Tempat Punya Cerita” yang diterbitkan Gagas Media.
Sudah sekian rumah makan kami datangi, tapi tak ada yang betul-betul mengena di hati. Tempat yang terlihat cukup memenuhi syarat pun ternyata masih juga kurang sesuai.
“Ini makanan Thailand Selatan, bukan Thailand Tengah,” kata Moemoe sambil membaca daftar menu.
“Emangnya beda, ya?” tanya saya.
“Beda. Makanan Phuket taste-nya lebih ke arah Melayu, kalau Bangkok mirip Chineese food,” jelas Moemoe.
Karena sudah terlalu lelah, kami memutuskan untuk berhenti dan makan malam di sana. Sambil beristirahat kami mengobrol macam-macam. Mulai dari kehidupan sehari-hari, novel Moemoe, sampai topik yang kira-kira akan diangkat dalam gathering nanti.
“Topiknya harus yang dialamin semua orang,” kata Em, koordinator divisi relationship Gagas Media yang salah satu tugasnya membantu penulis merancang acara.
Berbagai kemungkinan topik terlontar. Mulai dari yang paling umum seperti cinta, sampai relasi dalam keluarga. Tapi tak ada topik yang betul-betul terasa pas. Akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari rumah makan Thailand Selatan tersebut sambil mencari-cari tempat lain dan meneruskan obrolan.
Tempat berikutnya terasa “kurang Thailand”. Tempat lainnya lagi terlalu ramai dan tak cukup hangat. Tempat yang paling kami incar ternyata sudah lama ditutup. Kami hampir putus harapan.
“Kalau nggak ada tempat lagi, di restoran Phuket tadi aja. Biarpun menunya nggak begitu pas, nuansa-nuansa Thailandnya masih kuat,” kata Moemoe pasrah.
Hampir pukul setengah sepuluh malam ketika Em tiba-tiba menemukan informasi mengenai Grasshopper Thai di internet. Em dan saya merasa tak asing dengan nama tersebut, tapi kami tak ingat pernah melihatnya di mana.
“Rasanya gue liat di jalan ke rumah elu, De,” kata Em sambil mencoba mengingat-ingat.
Saya diam saja karena memang tak ingat sama sekali.
“Ya udah, kita liat aja sambil balik ke rumah lu dan nganter Moemoe. Motor Moemoe kan masih diparkir di daerah Setiabudi,” kata Em lagi.
Kali itu kami tak banyak berharap. Tetapi di luar dugaan, ternyata Grasshopper Thai terletak tak jauh dari tempat Moemoe memarkir motornya, tak jauh dari tempat kami bertiga bertemu sebelum berangkat survey tempat.
“Kita kan tadi berdiri-berdiri di deket sini nungguin Moemoe. Kok bisa, sih, kita nggak ngeliat plang masuk ke tempat ini?” saya merasa takjub pada diri saya sendiri.
Em dan Moemoe pun sama takjubnya.
Pada akhirnya, masuklah kami ke Grasshopper Thai yang sebetulnya hampir tutup karena sudah malam. Ternyata memang tempat seperti itulah yang kami cari. Nuansa Thailandnya cukup kuat. Menunya cocok. Tempatnya pun nyaman. Kami pun menemukan rasa sreg yang kami cari-cari sepanjang hari di tempat yang … ternyata tak jauh dari tempat kami berangkat.
“Em, lo sekarang percaya jodoh?” tanya saya.
Em tertawa kecil sambil masih sibuk memilih-milih menu untuk gathering.
“Hari ini kita dateng ke macem-macem tempat. Di salah satunya kita malah mampir agak lama dan makan. Tapi sekalipun kita sempet brenti di sana, tempat itu bukan jodoh kita. Pertanyaan lo soal kawin-cerai tujuh kali tadi itu mungkin kejawab,” lanjut saya.
“Kalau dipikir-pikir apa yang kita alamin hari ini kayak cerita di buku aku. Edvan, tokoh utama di buku aku, berperjalanan sampai ke Bangkok segala. Padahal ternyata apa yang dia cari nggak jauh, ada di ibunya dan adiknya,” tambah Moemoe.
Sebetulnya hari itu bisa saja Em, Moemoe, dan saya langsung menemukan Grasshopper Thai di titik awal perjalanan kami. Tapi point pentingnya adalah perjalanan dan pencariannya. Apapun yang kami temukan di sepanjang jalan mempersiapkan kami untuk bertemu dengan jodoh kami, dalam keadaan yang paling matang dan lengkap.
“Eh, kenapa topik gathering-nya nggak ‘Jodoh’ aja?” usul Moemoe tiba-tiba. Topik di gathering harus berkaitan dengan novel “Bangkok” yang ditulis Moemoe, tapi juga dekat dengan pengalaman semua orang. Sepanjang hari itu kami tidak berhasil menemukan topik yang cukup sreg di hati, sampai Moemoe melemparkan usul tersebut.
“Iya juga, ya, ‘jodoh’ kan bisa berarti ‘milik’. Nggak selalu pasangan. Bisa luas,” Em langsung setuju.
Saya juga.
Malam itu kami bertiga pulang dengan perasaan puas dan bahagia. Kami percaya perjalanan sepanjang hari itu pun merupakan bagian dari perjalanan-perjalanan lain kami menemukan jodoh kami, dalam konteks apapun.
Mungkin artikel ini pun menjadi salah satu jalan yang membawamu pada novel “Bangkok” yang ditulis oleh Moemoe Rizal. Siapa tahu novel itu pun memang berjodoh denganmu ;)
Dalam suka-duka pencarian jodohmu, tak ada pengalaman yang sia-sia.
Baca setiap cerita yang tersirat di telapak kakimu, lalu ceritakanlah kembali.
Percayakah kamu? Bisa jadi kisahmu adalah jembatan yang akan ditapaki seseorang menuju jodohnya ^^
Sundea
Komentar
@Iyya : hahaha ...