Sari Pati

-Kuta, Sabtu 3 November 2012-

Di sebuah jalan kecil, hiruk pikuk Kuta teredam. Keheningan tak tertindas apa-apa dan angin bebas bercerita. Sebuah pura menghentikan langkah saya. Gerbangnya terkunci seperti menyimpan rahasia …

locked

“Dari mana?” tiba-tiba seorang bapak menegur saya.
“Eh … aku dari Bandung. Ini puranya siapa?”
“Pura keluarga saya.”
“Hooo … lihat-lihat boleh?”
“Di depan saja, ya. Sebentar saya ambil kuncinya. Tunggu di situ,” sahut bapak itu seraya berlalu.



Sesaat kemudian bapak yang ternyata bernama pak Wayan Konde itu kembali. “Dulu pura ini tidak digembok. Tapi ada yang mabok-mabok mengacau masuk ke sini,” ungkapnya sambil membukakan gerbang. 

pakwayankonde

Pak Wayan Konde kemudian bercerita mengenai pura yang berdiri sejak tahun 2000 itu. Ia dan keluarga yang tinggal di sekitar sana bergantian menjaga dan merawat pura tersebut. Dari waktu ke waktu, pura itu selalu diperbaharui. “Balai itu baru dibangun satu setengah tahun lalu,” Pak Wayan Konde menunjuk balai pertemuan di sisi kiri halaman pura.

balaipertemuan

Kendala bahasa membuat saya tak berhasil menangkap seluruh cerita Pak Wayan. Tetapi intonasi dan cara berceritanya yang seperti nyanyian, membuat saya memahami sesuatu yang entah apa. Ia dan suara alam saling mengiringi. Deru motor dan gesekan sapu lidi yang hadir sesekali pun tak merusak harmoni. Sementara Pak Wayan bercerita, saya memotret-motret. 

pura1

“Wah, Bapak, ini ada kelapa-kelapanya. Untuk apa?” saya berjongkok di depan sebuah tanaman yang diapit kelapa.

kelapa

“Itu simbol saja,” sahut Pak Wayan.
“Simbol apa?” tanya saya.
Kemudian hening sejenak.
“Kita selalu punya tiga power,” sahut Pak Wayan Konde sambil menatap kelapa tersebut.
Saya ikut-ikutan menatap kelapa itu tidak mengerti. “Kelapanya kan ada empat,” kata saya.
“Darah, air, nafas. Ibu, Bapak, Anak,” lanjut Pak Wayan Konde tanpa menghiraukan saya.
Akhirnya saya mengangguk-angguk saja.

Saya menatap langit luas yang tak selalu saya mengerti juga. Menghirup udara dan membiarkannya memompa jantung saya tanpa banyak bertanya. Darah saya mengalir. Saya tahu. Namun ia yang tersimpan di bawah kulit tak pernah sungguh-sungguh bisa saya lihat. Akhirnya saya tahu di tatar mana saya harus menempatkan penjelasan Pak Wayan. 

langit

“Pak, udah mulai gelap. Dea pamit dulu, ya … kalau mau ke jalan besar lewat mana?” tanya saya.
“Di sebelah ini ada jalan. Ikuti saja.”
“Baiklah. Makasih banyak, ya, Pak …”

Saya mengikuti jalan yang ditunjuk Pak Wayan Konde. Jalan itu sempit. Bau kotoran hewan – ampas kehidupan – menyengat hidung saya. Seharusnya jarak ujung-ujung gang itu tidak terlalu jauh, namun entah mengapa perjalanan menyusurinya terasa begitu panjang. Ketika saya menengok ke belakang, di tembok gang berdiri dua ekor kucing, hitam dan putih. Keduanya menatap saya dengan tajam. Jantung saya seperti berhenti. Saya kembali menatap ke depan kemudian mempercepat langkah saya.

jalansempit

Begitu tiba di mulut gang, saya kembali menengok ke belakang. Kedua kucing itu sudah hilang tanpa jejak. Kuta kembali hadir sebagai hiruk pikuk yang saya kenal. Deru kendaraan yang tak selesai-selesai kembali menerjang cerita angin. Percakapan dan lagu-lagu dari berbagai sudut timpa menimpa, tak peduli pada harmoni. Ketika berdiri di sana, saya hampir tak percaya bahwa persis di balik tembok, ada suasana yang seratus delapan puluh derajat berbeda. “Segala sesuatu itu berlapis-lapis,” pikir saya. 

jalan

Jln. Pantai Kuta, Bali, adalah hiruk pikuk yang tidak bersahabat. Deru dan debu tak pernah mau mendengar dan memahami. Jajaran toko adalah pengulangan yang menjemukan. Dan saya, adalah makhluk asing yang sedang sengaja membiarkan diri tersesat di belantara Kuta.

Kakikaki saya melangkah mengikuti intuisi. Tanpa perlawanan.

tanda
Sundea

Komentar