… and Your Positivity


Sebetulnya ini cerita lamaaa … sekali. Ditulis sekitar empat taun yang lalu dan ada di buku Salamatahari 2. Tapi berhubung temanya pas, Dea unggah lagi di sini. Buat yang udah baca, semoga tetep bisa jadi pengingat hal-hal baik yang ada di sekitar kita ;)

kursi roda di jalan

“… and the world spins for you, and your positivity …”
Positivity-Suede

Minggu lalu, waktu naek angkot lewat Boromeus, Dea liat bapak-bapak berkursi roda yang nyusurin jalan sambil mangku anak perempuan berseragam SD. Meskipun cacat, bapak itu tampak bahagia-bahagia aja. Dia bisa ketawa-ketawa lepas sambil sesekali nunjuk dan ngejelasin ke anaknya apa yang mereka temuin di sepanjang jalan.



Si anak pun tampak nggak masalah. Karena bapaknya di kursi roda, dia malah bisa duduk nyaman dan nyandar santai di dada bapaknya. Dia juga bisa ketawa selepas bapaknya. Waktu bapaknya ngejelasin sesuatu, dia meratiin dengan saksama. Sesekali dia ngangguk-ngangguk sambil senyum.

Siang itu panas banget. Bulan puasa pula. Jalan lumayan macet dan kendaraan seperti kepengen susul-susulan dengan nggak sabarnya. Yang aneh, waktu ngeliat bapak-anak itu, dengan sendirinya mereka ngasih jalan. Beberapa orang di angkot bahkan otomatis senyum ngeliat kedua orang itu. “Itu emang anaknya, ya, Pak?” Dea nanya ke supir angkot. Sambil ikut ngeliatin bapak-anak itu lewat spion, Pak Supir ngangguk.
Begitu nyampe di Tobucil, Dea langsung cerita penuh semangat ke temen-temen di Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

“Liat, deh, betapa orang cacat nggak difasilitasi. Mereka nggak dikasih trotoar atau bis untuk orang cacat sehingga mereka harus jalan di jalan biasa kayak gitu …,” komentar Mas Yunus, salah satu pengurus AJI.
“Tapi mereka bahagia dan kebahagiaan mereka nular ke semua orang,” Dea bilang.
“Tapi kan begitu aja. Orang-orang paling hanya bisa memberi jalan. Apa tindakan pemerintah untuk orang-orang seperti mereka …?” kata Mas Yunus lagi.

Hmmm. Iya, sih. Tapi yang hebat, bapak-anak itu nggak kalah sama tekanan apapun. Nggak sama kecacatan, nggak sama siang yang panas, nggak sama puasa (kalo mereka puasa), nggak sama jalanan yang macet, juga nggak sama fasilitas yang sangat minim. Mereka bukan pejuang semacem Sultan Hasanudin ato Cut Nyak Dien gitu, tapi jelas kalo mereka pejuang radikal yang menang ngelawan keadaan. Buktinya, orang-orang gahar di jalan pun tunduk sama aura positif yang mereka bawa.

Besok-besoknya, Dea jalan nyusurin Dago. Ceritanya Dea kepengen motret bapak-anak itu dan ngobrol sedikit sama mereka. Ternyata bapak-anak itu nggak pernah ada lagi, Temen-temen. Supir angkot pun nggak pada tau.

Dea sempet sedikit sedih dan kecewa. Tapi belakangan Dea sadar; cerita mereka mungkin harus jadi esei terbuka buat siapa aja.

Temen-temen, setelah Dea, sekarang giliran kamu yang ngebuat cerita … ^_^

ilustrasi: Erithethird.  Dia adalah ilustator buku Salamatahari 2. Untuk lebih kenal Erri, satron dia di blognya: http://kontemplacity.blogspot.com/

Komentar