Sekuel Teteh

Ketika saya turun dari angkot di bilangan Sumur Bandung, seorang anak perempuan kecil menghadang saya.


“Mau itu!” ia menunjuk minuman kotak di tangan saya sambil mendorong saya dengan kasar.
Saya terkesiap.
“Mau itu!” ulangnya, kali itu sambil merampas minuman kotak saya.
“Abis, Teh,” sahut saya.
Teteh tampak marah. Ia melempar kotak minuman itu, kemudian kembali mendorong saya dengan kasar. “Minta seribu!”
“Hah?”
“Minta seribu! Cepetan!”



Selain karena memang terburu-buru, pemalakan yang dilakukan Teteh justru membuat saya enggan mengeluarkan dompet. Ketika angkot yang saya tunggu muncul, saya naik sambil masih mengamati Teteh yang tampak berpindah pada korban pemalakan lainnya. Sebelum angkot saya berangkat, saya masih sempat memotretnya. Dua kali.

Teteh. Saya tahu anak perempuan itu. Beberapa tahun silam, ketika sedang memperbaiki sol sepatu di Simpang Dago, saya bertemu dengannya. Ia tampak lusuh dan keruh, tapi matanya sebening mata air. Namanya Teteh. Ia meninggalkan kesan yang kemudian saya tulis di sini. Sampai kapan pun saya tidak akan lupa pada sosoknya.

Entah apa yang dijejalkan waktu, Teteh tumbuh semakin liar. Sekitar setengah tahun yang lalu saya pernah mendapatinya berkeliaran di seputar pangkalan angkot hingga supir angkot sempat bertanya,

Budak saha ieu (anak siapa ini)?”
Teuing. Bawa weh (Nggak tau. Bawa saja),” sahut pengamen setempat.

Teteh memang cukup sering ada di sana. Entah dari mana ia datang. Dan ke mana ia akan pulang.
Di dalam angkot saya jadi berpikir. Teteh pasti lapar atau haus. Itu sebabnya hal pertama yang ia palak dari saya justru minuman kotak. “Seribu” adalah permintaan berikutnya karena mungkin itulah yang ia tahu dapat ditukar dengan makanan.

Akankah waktu dan segala yang dibebankan padanya mencemari kebeningan mata Teteh bertahun-tahun yang lalu? Hari itu saya tak sempat melihat ke mata Teteh dan memastikannya.

Siang itu keruh, panas, dan berdebu. Saya tidak dapat bercermin kepada apa-apa …


Sundea

Komentar

Nia Janiar mengatakan…
Whoa. Ternyata gue komen di tulisan yang dulu.

Waduh, sayang ya, De.. masih kecil begitu sudah palak-palakkan. Gue pernah jalan sama Neni deket BEC. Ada perempuan lusuh yang nyamperin dia dan minta minuman di tangan Neni. Terus Neni gak kasih dan gue juga bawa minuman (tapi udah gak kepengen minum). Terus gue sodorin, "Nih, nih, bawa aja yang ini." Terus dia ambil deh.