Ilmu Dagang Abah Surya


“De, Si Abah itu teorinya aneh-aneh, geura …,” kata Deni Rahman, teman Dea, pemilik LB Bookshop, salah satu kios buku di Balubur Town Square, Bandung.
“Abah siapa?” tanya Dea.
Dengan gerakan kepala, Deni menunjuk kios Bursa Biskuit yang berseberangan dengan kiosnya. Seorang laki-laki Tionghoa separuh baya yang periang berdiri di sana.

“Gua manggilnya Abah Surya. Tiap hari gua kuliah 14 SKS sama dia … hahahaha,” lanjut Deni.



Abah Surya adalah pedagang biskuit yang passionate adanya. Dia nyaris tak pernah absen menjaga tokonya. Rajin. Datang pagi-pagi sekali, dan baru tutup ketika Balubur sendiri tutup. “Sok, geura, Den, jualan teh sampe peuting (malam). Kalau jaga sampai malam, kita nabung buat besoknya, jadi besok paginya kalau pun sepi, kita udah tenang,” Deni menirukan nasehat Abah Surya. 


Tak hanya itu, ada banyak tips tidak biasa yang dibagi Abah Surya kepada Deni. Antara lain: mandi di tengah jam jaga toko.

“Kata Si Abah, kalau kita lagi jaga toko, sore-sore mandi dulu supaya seger,” cerita Deni.
“Terus ngaruh, nggak?” tanya Dea penasaran.
“Percaya nggak percaya, ngaruh, lho. Pas jaga di Book Fair gua kan mandi di sana. Ternyata yang dateng emang tambah banyak,” sahut Deni sambil senyum-senyum. Geli sendiri.


Ilmu lain yang dibagi Abah Surya adalah bagaimana memperlakukan barang-barang. “Barang-barang dagangan kita itu punya harga diri, Den,” lagi-lagi Deni menirukan kata-kata Abah Surya. Keyakinan itu membuat Abah Surya selalu menjaga keapikan barang-barangnya meski belum terjual.

Ia juga tidak menerima barang titipan. “Kata Abah Surya, sebaiknya semua barang yang kita jual itu barang kita sendiri. Kalau udah kita beli artinya kita yakin barang itu bagus dan pasti bisa laku. Balik lagi, De, barang itu punya harga diri,” papar Deni.

Abah Surya juga selalu memakani biskuit-biskuitnya sendiri. Menurutnya, itu adalah salah satu cara bersenyawa dengan dagangannya. Sebagai pedagang, ia juga punya cara pandang yang agak berbeda dengan prinsip dagang yang biasa Dea dengar. Jangan takut rugi, katanya. Kenapa? Karena untung-rugi itu sesuatu yang biasa. Setiap kerugian pasti akan digantikan dengan keuntungan lainnya suatu waktu. Optimis sekali, bukan?

Ketika Dea sedang mengobrol dengan Deni, Abah Surya tiba-tiba datang. Tampaknya ia sadar sedang “digosipi” … hehehe …


“Kenapa? Seneng ya ke tukang kueh?” tanyanya sambil cengar-cengir.
“Hahaha … iya. Abis Abah dagangnya semangat banget,” sahut Dea.
“Kalau dagang emang musti begini. Kalau BT mending jangan jualan dulu. Kita selalu akan dapet partner (konsumen atau teman mengobrol) yang sesuai. Kalau kita BT, dapet partner yang BT. Kalau kita senang, pasti dapet partner yang senang juga,” sahut Abah Surya.
“Kok dagangannya sendirian, sih, Bah, nggak pakai pegawai?” tanya Dea lagi.
“Hahaha … kan saya mau senang-senang sendiri.”
Deni dan Dea sama-sama tergelak.

Ketika Abah Surya kembali ke kiosnya, Deni melanjutkan kesaksiannya. 


“Selama ini gua mempraktikkan semua yang dia ajarin dan ternyata rata-rata bener. Wah, banyak, deh, yang udah gua dapet.”
“Minggu depan Salamatahari temanya estafet. Pas banget sama cerita ini,” tanggap Dea.
“Iya, De, ini gua emang megang tongkat estafet dari dia …”

Beberapa saat kemudian Abah datang lagi. Ia membawa plat “79000” untuk Deni. Ia memang sering membuat plat-plat semacam itu sebagai penanda harga kuenya. Karena tahu Deni lahir pada tahun ’79, ia memberikan plat tersebut untuk Deni sambil berbisik-bisik.


“Den, Den, mau nggak dapet uang 25 juta langsung? Cuma disuruh nyari burung hantu …”
“Burung hantu apa?” tanya Deni sambil senyum-senyum.
“Burung hantu tapi kudu sipit siga urang (harus sipit seperti saya).”
Deni, Abah Surya, dan Dea tertawa bersama. “Tah, Si Abah mah sok kitu (tuh, Si Abah mah suka begitu),” tukas Deni.

Abah tak bisa lama-lama mengobrol dengan kami karena pembeli tak henti-henti mendatangi kiosnya. Senja sudah lewat. Tapi semangat Abah Surya tidak ikut menjadi gelap bersama hari. Mungkin karena dia adalah surya itu sendiri.

 
“Abah, pernah, nggak dagangannya nggak banyak yang beli? Sedih nggak kalau kayak gitu?” tanya Dea ingin tahu.
“Ah, kalau orang lewat sini terus nggak beli, pasti nggak bawa uang. Kalau udah pulang dan ambil uang, orang itu pasti belanja ke sini. Kamu juga sebetulnya tujuannya ke toko kueh kan? Ke Deni mah mampir aja? Hehehe …” tanggap Abah Surya.
Dea tersenyum.

Mendengar pernyataan itu, Dea jadi bertanya-tanya sendiri. Iya, ya. Sebetulnya siapa tujuan utama Dea pada akhirnya?

Lagu Mandarin mengalun dari televisi Bursa Biskuit Abah Surya. Nada dan kata-katanya asing. Namun terasa lebih akrab ketimbang lagu-lagu Top 40 yang diputar untuk seluruh Balubur Town Square … 

Sundea

Komentar

Nia Janiar mengatakan…
Deaaa, seneng gue bacanyaa.. dan gue jadi berasa kenal sama orangnya..
salamatahari mengatakan…
Hahaha ... ke Baltos, geura, Ni, jajan biskuitnya =D
om em mengatakan…
KANGEN DENIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

SUMPAH KANGEN BANGETB GUE SAMA SI BAPAK!
mikoalonso mengatakan…
hehehe..boleh ditiru juga tuh