-Ruku Kineruku, Jumat, 30 September 2011-
Dheg Dheg Plat
Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Di atas turn table, piringan hitam berputar. Dengan adil, ia memberi kesempatan setiap lagu yang tersimpan dalam perutnya bercerita; bergiliran sesuai antrian di daftar lagu.
Di sore yang cerah itu, teman-teman yang membawa piringan hitam kesayangan mereka ke Ruku Kineruku pun mendapat kesempatan bercerita. Adil dan bergiliran. Saya baru tahu ada banyak musisi masa kini yang masih memproduksi musik dengan piringan hitam. Dan ternyata ada berbagai kisah menarik di balik kepemilikan piringan hitam tersebut. Riar, misalnya, memiliki salah satu dari piringan hitam Mournphagy (1997) yang hanya dirilis lima copy. “Saya beli dari black metal fan yang ‘bertobat’. Kalau dikurs ke Indonesia, harganya cuma Rp 70.000,00, lagi,” ungkapnya bungah.
Lain lagi dengan Adhit dari Telkom yang dengan penuh semangat mempromosikan band favoritnya, Brown Recluse dari Philadelphia. “Saya yakin ini the next big thing,” ujarnya dengan mata bersinar-sinar. Sambil memutarkan album “Evening Tapestry” dari Brown Recluse, Adhit bercerita bagaimana dengan sangat niat adanya ia mencari informasi seputar band tersebut. “Waktu saya googling ‘Brown Recluse’, yang muncul malah tentang laba-laba. Akhirnya saya dapet myspace-nya, tapi udah nggak keurus karena personilnya udah sibuk sendiri-sendiri. Tapi di situ ada alamat email, jadi saya kirim email ke situ,” cerita Adhit. Secara mengejutkan, keesokan harinya Adith mendapat friend request langsung dari akun facebook sang personil. Pertemanan Adhit dan Brown Recluse pun terjalin. Brown Recluse bahkan bersedia tampil di Indonesia tanpa bayaran, cukup tanggungan akomodasi. “Mungkin ada yang bersedia …,” tawar Adhit di akhir penuturannya.
Piringan hitam mengharuskan kita menerima seisi album apa adanya. Karenanya, kita jadi memiliki keintiman tertentu dengan apa yang kita dengarkan. Dheg Dheg Plat tercetus ketika Anto Arief merasa jenuh dengan playlist MP3 yang dapat berganti-ganti secara instan dan mudah. Tahu-tahu saja ia ingin mendengarkan musik dengan player konvensional. Merindukan rasa akrab dengan urutan lagu dan waktu jeda di antaranya yang khas. Merindukan effort dalam mendengarkan musik sehingga musik jadi terasa lebih dari sekedar sesuatu yang numpang lewat. Anto Arief, gitaris 70’s Orgasm Club, band bernuansa lagu funk lawas tersebut, akhirnya memulai kembali kebiasaan mendengarkan musik dengan piringan hitam alias plat.
Bicara soal lawas, Mas Budi Warsito dari Ruku Kineruku ternyata mempunyai album lagu lawas anak-anak Balonku yang dinyanyikan oleh Endi dan Adi. “Kita selalu bingung sama urut-urutan warna di balonku. Merah dulu atau hijau dulu. Ketuker-tuker sama lagu Pelangi, Lihat Kebunku, dan lagu anak-anak yang lain. Coba dengerin urutan warna balon di lagu ini,” katanya ketika tiba giliran piringan hitamnya diperdengarkan.
“Kuning, hijau, kelabu, merah muda, dan ungu ….”
Lho? Kok malah beda sama sekali?
Rencananya Deg Deg Phlat akan digelar secara rutin di Ruku Kineruku. Tunggu saja infonya, ya, rajin-rajin berkunjung ke http://zine.rukukineruku.com/. Selain sebagai ajang bertukar cerita, kamu juga dapat membawa piringan hitam yang tidak kamu sukai. Acara ini dapat menjadi ajang barter juga.
Ketika saya sudah harus pulang, acara masih berlanjut. Sebuah piringan hitam milik Rekti Yuwono, personil The S.I.G.I.T yang juga ikut berbagi di acara itu, tengah berputar. Adil memberi kesempatan setiap lagu untuk menyatakan dirinya.
Hari sudah gelap. Dalam perjalanan menuju Setiabudi, tak ada lagi plat yang diputar atau cerita-cerita. Mataharilah yang berputar, kembali kepada titik berangkatnya.
Saya berjalan kaki dari Hegarmanah menuju Setiabudi. Jalan menurun lurus, tidak melingkar.
... dan saya menapaki setiap jengkal seadil-adilnya …
Sundea
Komentar