“Sometimes life hits you in the head with a brick. Don’t lose faith”.
-Steve Jobs-
Saya bertemu ibu ini dalam perjalanan menuju sekolah, ketika akan berangkat mengajar. Intuisi yang saya kenal mendesak saya untuk menyapanya. Jadi turunlah saya dari angkot dan berlari-lari mengejarnya.
“Ibuuuu … !” seru saya.
Ibu itu melirik spionnya lalu menghentikan gerobaknya.
“Pagi, Bu,” sapa saya setelah berhasil mencapai Si Ibu.
Si Ibu tersenyum membalas sapaan saya, sementara saya masih sibuk mengatur nafas.
“Lagi sibuk, nggak, Bu?” tanya saya akhirnya.
“Henteu, kieu-kieu wae abdi mah … (enggak, gini-gini aja saya, sih),” sahut Si Ibu.
“Berarti boleh ngobrol, Bu?” tanya saya lagi.
“Boleh, Neng, boleh …”
Namanya Bu Dewi. Usianya 42 tahun. Ia dikaruniai dua orang putera. Yang satu berusia lima tahun, satunya lagi baru tiga tahun. Setiap hari Bu Dewi mengumpulkan dan menjajakan barang-barang bekas. “Yang dikumpulin sama jual mah apa aja, Neng. Ada kertas, botol, kalau kertas paling abdi jual dua ratus, lima ratus, botol mah ada yang seribu lima ratus,” paparnya.
Penghasilan Ibu Dewi tidak menentu. Jika beruntung, dalam sehari ia dapat menghasilkan sekitar sepuluh ribu rupiah. “Abis itu pulang weh, da capek (setelah itu ya pulang saja soalnya capek),” ujarnya tanpa beban. “Memangnya cukup, ya, Bu, untuk sehari-hari?” tanya saya takjub. Bu Dewi hanya senyum-senyum. Entah apa artinya.
Kata Bu Dewi, suami Bu Dewi tidak bekerja dan tinggal di rumah bersama anak-anak. Jadi di dalam asumsi saya, Bu Dewilah yang menjadi sumber penghasilan.
“Ibu ada pekerjaan lain selain ini?”
“Teu, ieu weh (enggak, cuma ini). Ah, yang penting mah adalah buat jajan anak-anak,” jawabnya, lagi-lagi santai dan tanpa beban.
Teman-teman, tahukah kamu apa yang paling menarik dari gerobak Ibu Dewi?
“Spion meh aya mobil, abdi ngaliat (spion supaya kalau ada mobil saya melihat).”
“Lamun ieu, meh wangi pan abdi ka sampah-sampah (kalau ini supaya wangi, kan saya ke sampah-sampah),” ujar Bu Dewi sambil menunjuk pengharum ruangan yang tergantung memimpin di wajah gerobaknya.
Ia juga membawa oli, bekal makanan dan minuman, serta rantai gembok untuk menjaga gerobaknya dari pencurian. Meski terlihat santai-santai saja, sepertinya Ibu Dewi sudah memikirkan semuanya. Hidup bisa jadi tidak mudah, tapi ia tidak membuatnya menjadi sulit.
Tiba-tiba aksen di baju hitam Ibu Dewi menangkap saya.
“Bu, bajunya boleh aku potret, nggak?”
“Boleh, Neng …”
Jadi saya memtoretnya.
“Ibu tahu, nggak, tulisan di baju Ibu artinya apa?” tanya saya.
Ibu Dewi menggeleng.
Kali itu, ganti saya yang senyum-senyum dan membiarkan Ibu Dewi menebak-nebak artinya.
Setelah mengucapkan terima kasih, kami berpisah. Saya meneruskan perjalanan saya ke sekolah, sementara Ibu Dewi meneruskan perjalanannya entah ke mana. Saya memperhatikan kefasihannya membaca spion untuk menyeberang jalan dan mendorong gerobaknya yang berat dengan langkah yang ringan.
“Faith in heart” adalah sayap yang membantumu bertentangan dengan tekanan gravitasi tanpa harus terlalu banyak melawan.
“Faith in heart” adalah sesuatu yang mengingatkan bahwa setiap kita sesungguhnya bisa terbang.
Sundea
*dinyanyikan dengan nada lagu Dewi-nya Alexa
Komentar
tiap kali liat postingan (foto, film, berita) ttg human interest yang bersileweran pasti orang-orang komennya: wah kasian yah.
tapi kalau elu yang mengemas, pasti orang-orang justru memuji, bukan malah kasihan.. hehe..
salut dengan caralu mencari keistimewaan dari tiap hal.. plok plok..
suka bgt deh kak ama kemasannya..
unik simpel mengena dan indpiratif :D
aku suka kalimat deskripsi yang faith in heart.. ^^
makasih yaa kak..
oya salam kenal juga.